Tanpa terasa, dua puluh hari benar-benar berlalu. Hari perburuan yang dinanti pun tiba.
Aku merasa bahwa baru kali ini aku bekerja dengan sangat keras untuk menekuni suatu hal. Aku sudah memaksakan diri dalam hal yang sangat tidak kusenangi dan asing bagiku, tetapi aku bisa melakukannya pada akhirnya. Meski begitu, aku yakin alasannya adalah karena jiwa pro gamer yang membara di dalam diriku, yaitu jiwa yang menyenangi tantangan. Maka sama halnya memainkan gim RPG yang sulit, maka aku juga menganggap jika berlatih menyulam adalah tantangan yang harus aku selesaikan.
"Arthe, kerja bagus!" Lucille bersorak riang ketika melihatku akhirnya telah berhasil menyelesaikan sulaman terakhirku di saputangan keempat. Dia tampak ikut bahagia atas pencapaian yang kulakukan. Hal ini membuatku tersenyum dengan puas juga.
Sebelumnya, aku bahkan sampai menahan napas sepanjang memberikan sentuhan detail terakhir di saputangan keempat yang kubuat. Namun, selepas aku benar-benar menyelesaikannya, rasanya menyegarkan dan lega, seolah beban berat yang menghantuiku selama dua puluh hari terakhir telah terangkat dengan sempurna.
Aku melakukannya. Aku berhasil menyulam empat saputangan dengan pola bunga sederhana di dua bagian sudut kiri dan kanan saputangan, kemudian menyulam nama lengkap mereka di sudut bagian bawah saputangan. Untuk hasilnya memang tidak bisa dikatakan sempurna, tapi tetap saja ini lumayan, meski ada pola asimetris dalam sulaman bunga dan nama, kemudian ada pula beberapa benang mencuat dan keluar dari pola, tapi ini lumayan! Lumayan! Bahkan Lucille memujiku setiap kali aku menyelesaikan sulamanku.
Aku pun menatap kedua tanganku. Selama menyulam, aku tak bisa berhenti terluka. Jadi ada banyak goresan kecil di jari dan tanganku, bahkan ada beberapa plester untuk luka dalam yang tak sengaja aku buat. Setelah semua jerih payah ini, akhirnya terselesaikan juga.
"Ibu, terima kasih!" balasku dengan senyuman selebar mungkin. "Ini semua berkat Ibu, aku akhirnya bisa menyulam saputangan untuk diberikan pada kakak-kakak!"
Lucille terkekeh dan mencubit kedua pipiku gemas. "Sama-sama, Arthe. Ibu juga senang melihat Arthe akhirnya bisa menyelesaikan sulamanmu. Rupanya, Arthe membuat empat saputangan, ya?"
Aku mengangguk, memperlihatkan keempat saputangan yang telah aku sulam. Masing-masing memiliki pola bunga yang sama tetapi berbeda warna. Biru muda untuk Adrian, emas untuk Carlisle, merah untuk Cain, dan biru tua untuk Evander.
"Kamu bahkan membuat satu untuk Cain juga, ya? Apa kamu akan baik-baik saja saat memberikannya?" tanya Lucille dengan sedikit khawatir. Aku yakin, kejadian di mana Cain pernah menganiayaku di kediaman Montrose tak akan dengan mudah hilang di benak mereka semua.
Aku mengangguk dengan senyuman meyakinkan. "Tentu, Ibu! Aku akan baik-baik saja karena aku akan memberikan saputangan ini dengan ditemani oleh Coretta dan Kieran seperti yang mereka janjikan."
"Sungguh? Apa Arthe ingin Ibu menemani kamu juga?" tanyanya kembali, seolah belum yakin untuk membiarkanku bertemu dengan Cain begitu saja.
"Tidak apa, Ibu. Sungguh! Bukankah di lokasi perburuan nanti, Ibu akan menjadi sangat sibuk? Aku tidak ingin merepotkan Ibu."
Meski aku sudah berusaha untuk meyakinkannya, Lucille masih merasa sedikit khawatir, wajahnya bahkan mengerut resah. Mau bagaimanapun, dia merupakan nyonya bangsawan. Di lokasi perburuan nanti, dia harus terus berkumpul dengan nyonya bangsawan lainnya sebagai tugas utama Lucille.
"Ibu akan menyisihkan waktu, Sayang. Tenang saja. Bagaimana jika lima menit sebelum perburuan dimulai, Ibu akan menemani Arthe untuk memberikan saputangan itu pada Cain?"
"Bagaimana jika kita melihat situasinya nanti saja, Ibu? Jika Ibu sempat, Ibu bisa menemani aku. Jika Ibu tidak bisa, tidak perlu memaksakan diri karena aku tidak pergi sendiri. Aku akan pergi ditemani oleh Coretta dan Kieran! Aku percaya pada mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Buangan Duke
Fiction Historique[Brothership story!] "Padahal hanya anak buangan, tapi kamu seolah memiliki kuasa seperti seorang raja!" Kalimat itu ditujukan pada Arthevian Montrose menjelang ajalnya. Tak ada yang lebih buruk daripada dipenggal mati karena sikap tidak tahu diriny...