Dalam tidurku, aku mengerjapkan mata begitu merasakan tubuhku terguncang kasar. Belum lagi, setiap inci kulitku seakan diterpa semilir angin malam yang dingin, seolah saat aku tidur sebelumnya, aku sengaja membuka jendela dan tidak memakai selimut. Bahkan kasurku yang empuk malah terasa jadi tidak nyaman.
Aku menggeliat sejenak sebelum bergumam dengan nada rendah. Walaupun dengan mata tertutup karena kantuk yang masih sedikit menyusupi, pendengaranku perlahan menajam, dan indra perasaku mulai merasakan keanehan yang terjadi pada diriku sendiri.
Mengenai bagaimana suara langkah kaki yang terasa bergema di atas rerumputan, semilir angin yang menabrak dedaunan dan ranting, genangan air yang tak sengaja terinjak, atau bunyi serangga malam yang memenuhi udara. Sudah jelas, kamarku itu berada di lantai tiga sehingga suara para serangga cenderung tak banyak yang masuk, tetapi mengapa kali ini terdengar begitu jelas? Bahkan tubuhku yang terguncang, dan kehangatan dari rengkuhan seseorang membuatku yakin kalau aku tidak sedang berada di kamar!
Atas keanehan tersebut, aku segera membuka mataku dan kenyataan bahwa aku berada di luar ruangan, membuatku terpaku. Dalam visiku, terkaca rupa Cain dengan begitu jelas. Rambutnya yang beterbangan selama dia berlari sekuat tenaga, kedua matanya yang menyipit dengan kerutan jengkel di dahi, dan bibirnya yang sesekali dia gigit. Panorama malam menyambutku, pepohonan separuh lebat di jalan setapak memenuhi visi, dan sensasi dingin dari angin malam terasa begitu menusuk kulit.
“Kak Cain?” tanyaku, suaraku separuh teredam karena tubuhku dipeluk Cain dengan begitu erat.
Cain kelihatan terkejut sejenak, menghentikan langkahnya, dan tersenyum tipis ke arahku. Dia membenarkan letak tubuhku dalam gendongannya, sembari membenahi letak pakaian Cain yang baru kusadari entah sejak kapan sudah membaluti tubuhku dengan kebesarannya.
“Maaf membuatmu terbangun, Arthe. Tahanlah sebentar lagi, ya?”
Aku tidak mengerti apa yang dimaksud Cain dengan menahannya sebentar lagi. Namun, Cain tidak lagi membuang waktu dan berlari dengan langkah kaki yang lincah dan gesit. Aku terkejut dan mencengkeram pakaian Cain, kepalaku menoleh ke belakang punggung Cain sehingga bisa kulihat panorama hutan-belantara yang selama ini mengunciku dalam kediaman itu, menjebakku di sana tanpa bisa memberikanku jalan keluar, dibelenggu dengan tanpa nuraninya. Namun kini, aku bisa keluar dengan bantuan Cain. Jalurnya kelihatan familier, itu sama ketika aku mencoba kabur juga. Ini adalah jalur menuju Kediaman Montrose! Apa Cain sebenarnya hendak membawaku keluar dari kediaman terkutuk itu?!
Aku jadi sedikit antusias dengan pemikiran bahwa aku bisa kabur dan kembali ke Kediaman Crissalo.
“Kak Cain, kita mau ke mana?” tanyaku.
Meski suaranya seolah teredam oleh terpaan angin, aku masih bisa mendengar balasannya dengan baik, “Kita akan pergi dari sini, Arthe. Hanya akan ada aku dan kamu nanti, kita bisa menghabiskan waktu berdua sampai mati.”
Di saat aku mendengar perkataan Cain, aku merasa bahwa ada yang salah dengan baut yang terpasang dalam otak Cain. Aku terpaku dengan tatapan kosong. Sudah kuduga, Cain tetaplah Cain! Tidak mungkin bagi Cain untuk mulai luluh atau berlaku lembut padaku. Dia ini orang yang mengerikan!
Tak lama kemudian, akhirnya aku dan Cain tiba di sebuah gerbang raksasa yang menghubungkan area kediaman dengan Kediaman Montrose! Aku benar-benar bisa keluar dari paviliun itu! Mataku sedikit berbinar ketika tahu bahwa kabur sekarang bukanlah hal yang mustahil lagi.
Cain tetap tak berhenti berlari sampai dia tiba di kediaman utama. Aku tak mengerti mengapa Cain membawaku masuk ke dalam, menyusuri lorong kediaman, dan tiba di sebuah ruang kamar.
“Arthe, tunggulah sebentar di sini,” ujarnya sembari meletakkan aku di atas ranjang empuknya.
Anehnya, Cain tersenyum tipis dan lembut sampai aku merinding sendiri. Aku memperhatikan apa yang Cain lakukan dengan kotak emas di lacinya, dia meletakkan banyak emas dan uang ke dalam tas kecilnya, lalu mengambil pedang di sudut kamarnya dan menyampirkannya di pinggang. Terakhir, Cain memberikanku sebuah mantel tebal yang hangat dan kembali menggendongku, keluar dari kamarnya dan kembali menyusuri lorong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Buangan Duke
Historical Fiction[Brothership story!] "Padahal hanya anak buangan, tapi kamu seolah memiliki kuasa seperti seorang raja!" Kalimat itu ditujukan pada Arthevian Montrose menjelang ajalnya. Tak ada yang lebih buruk daripada dipenggal mati karena sikap tidak tahu diriny...