Setelah kejadian di mana Arthevian menangis di ruang bermain, dia tertidur karena kelelahan. Anak itu terlelap dan meninggalkan Cain serta Ezekiel dalam perasaan dilema dan bertanya-tanya, ada pula perasaan asing yang seolah mengganjal di dalam hati.
Ketika keduanya melihat Arthevian menangis di ruang bermain, mereka tentu bingung. Apa yang membuat anak itu bersedih secara tiba-tiba ketika Cain bahkan sudah berusaha untuk bersikap sebaik mungkin padanya?
Bahkan Ezekiel saja sudah menahan diri untuk tidak bicara ketus, tapi mengapa Arthevian menangis sedih? Di pelukan anak itu, terdapat sebuah buku dongeng dengan judul Pangeran Kecil dan Penyihir Jahat. Sebuah cerita manis disertai ilustrasi menarik di mata anak-anak. Kisah di dalamnya pun membuat anak-anak sudah pasti menyukainya. Di mana dongeng itu menceritakan seorang pangeran berhati suci dan polos, lalu dia bertemu dengan penyihir jahat yang sedang bersedih. Karena kepolosan pangeran, penyihir jahat pun terhibur dan perlahan berubah menjadi penyihir baik. Konflik kecil terjadi setelahnya, tetapi tetap berakhir dengan bahagia.
Seingat Cain, itu kisah yang manis, dia saja bahkan mengetahui kisahnya. Namun, perlahan-lahan Cain mengerti jika apa yang Arthevian tangisi bukan perihal buku dongeng atau kisah dalam ceritanya, melainkan bersama siapa Arthevian berbagi momen mengenai cerita itu.
“Kak Adrian ...,” tuturnya penuh rasa pedih, yang baru terasa bagi Cain jika kesedihan yang terkaca dari bola mata sebiru jernih Arthevian begitu menyayat hati.
Mengapa baru terasa jika kesedihan dalam netranya begitu menguras isi hati, sampai seluruh akal sehatnya diuji untuk tetap waras? Namun satu yang memenuhi dadanya, rasa marah. Tak hanya itu, sesuatu dari balik relung hatinya terasa tumpah-ruah saat Arthevian mengungkapkan satu nama itu. Nama yang bukan miliknya. Di mana Cain merasa kalah, tersaingi, dan jengah.
Angka afeksi di atas kepala Cain berkedip agak cepat. Angka seratus satu berubah-ubah, tetapi pada akhirnya kembali ke angka awal.
[Afeksi: 101%]
Dia marah, dia kesal, dia dongkol sekali.
Cain baru sadar jika dia tak menginginkan nama lain disebutkan dalam tangis sendu anak itu. Mengapa tidak nama Cain saja yang dia sebutkan? Bahkan jikapun nama Cain tersebut dalam tangisannya yang pilu, maka Cain tak akan merasa semarah ini.
Cain mengepalkan kedua tangannya dengan erat, tapi tak mampu melakukan apa pun kala itu. Diam bergeming, menyaksikan anak itu menangis begitu sendu.
Pada akhirnya, Cain dan Ezekiel tak bisa melakukan apa pun dan hanya bisa diam terpaku. Bahkan jika mereka berusaha untuk menenangkan Arthevian, anak itu pasti akan semakin membencinya. Jadi, mereka hanya bisa memperhatikannya, membiarkan Arthevian meluruhkan kesedihannya, sampai anak itu lelah dan tertidur di atas sofa. Setelah itu, Cain menggendong tubuh Arthevian dan membaringkannya di kamarnya di lantai tiga, memperhatikan wajah sendunya yang tertidur sejenak, sebelum meninggalkan ruangan bersama Ezekiel.
Dalam perjalanan menuju lantai satu, sunyi yang mengisi suasana. Cain tak bicara, dia memang memiliki pribadi yang agak kaku sehingga sulit bagi Ezekiel untuk membuka kata. Dia pun merasa canggung dan hanya bisa menghela napas diam-diam.
Setelah tiba di lantai satu, mereka melihat Aldrich bersandar di dekat jendela, memperhatikan pekarangan paviliun di tengah hutan-belantara. Sebuah wilayah dengan nama kepemilikan Montrose sehingga orang luar tak bisa sembarang masuk.
“Ayah.” Ezekiel lebih dulu menyapa. “Anak itu sepertinya sudah benar-benar lengket dengan Crissalo.”
Aldrich memandang Ezekiel sepintas sebelum kembali memandangi hutan di balik jendela. “Bisa dimengerti. Dia dirawat dengan baik di Crissalo.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Buangan Duke
Historyczne[Brothership story!] "Padahal hanya anak buangan, tapi kamu seolah memiliki kuasa seperti seorang raja!" Kalimat itu ditujukan pada Arthevian Montrose menjelang ajalnya. Tak ada yang lebih buruk daripada dipenggal mati karena sikap tidak tahu diriny...