“Benar, Tuan Muda, pertahankan seperti itu.”
Suara Evander kedengaran samar di telingaku ketika aku berusaha untuk tetap fokus.
Ini adalah hari kedua kelas sihir yang digurui oleh Evander. Setelah belajar teori dasar kemarin, maka hari ini adalah prakteknya.
Karena masih seputar dasar ilmu sihir, makanya aku diminta untuk merasakan aliran mana di dalam tubuhku. Katanya, aku harus meditasi dan fokus untuk meraup setiap aliran mana alami yang ada di tubuhku, lalu mengumpulkannya menjadi satu untuk membentuk kekuatan sihir.
Jadi, saat ini aku sedang meditasi, diawasi oleh Evander. Meski Evander mengatakan bahwa ini adalah hal dasar, rupanya hal dasar ini agak sulit buatku.
Fokusku kadang pecah membuat mana yang kurasakan hanya samar-samar. Aku juga kadang gagal mengumpulkan mana dan aliran itu tumpah-ruah lagi, membuatku frustrasi.
“Tetap tenang,” tutur Evander. “Anda tidak bisa memaksakan aliran mana untuk mengikuti kehendak Anda saat pertama kali meditasi. Anda hanya harus tenang dan membiarkan mana itu berkumpul dengan sendirinya.”
Oke, aku melakukan apa yang Evander sarankan. Aku berusaha supaya tubuhku lebih rileks dan tenang, supaya fokusku pun tak pecah, lantas membiarkan aliran mana berkumpul dengan sendirinya.
Sulit. Berkali-kali, keringat menetes dan membasahi pakaianku. Tapi aku tidak mau membuka mata dan tetap fokus. Aku mendapatkan firasat jika aku menyerah, maka mana itu tidak akan pernah bisa aku tundukkan.
Setengah jam bagaikan neraka, akhirnya aliran mana itu sudah bisa aku rasakan dengan jelas dan mengalir bersamaan dengan darahku yang berdesir. Walau ada hal asing yang ikut melintas dalam nadi, itu tak terasa aneh, melainkan familier seolah itu telah menjadi bagian dari tubuhku semenjak lama.
“Bagus. Sekarang, Anda bisa berhenti. Merasakan mana adalah hal terpenting untuk menjadi seorang penyihir. Setelah merasakannya, maka Anda bisa mengeluarkan berbagai macam sihir ke depannya. Jadi, kerja bagus, Tuan Muda.”
Aku membuka mata dengan napas terengah. Tubuhku panas dan basah oleh keringat, aku juga luar biasa lelah. Semelelahkan ini hanya untuk merasakan mana.
Evander mengulurkan tangannya padaku untuk membantuku berdiri lalu dia menuntunku ke sofa terdekat.
Aku pun segera bersandar dengan lunglai di atas sofa. Ketika Evander menyerahkan secangkir air dingin, aku langsung meneguknya sampai tandas dan kembali bersandar dengan lelah.
“Tuan Muda, kerja bagus. Ini adalah tahap awal dan Anda melakukannya lebih baik dibandingkan dengan anak-anak seusia Anda. Ini.”
Evander mengulurkan bungkusan kecil berwarna merah muda di tangannya padaku. Aku mengerutkan dahi atas bungkusan warna pastel dan suasana ceria dalam gambar animasi bungkusan itu.
“Apa ini, Guru?”
Evander menggaruk pipinya pelan. “Um ... Ini hadiah dari saya karena Anda telah bekerja keras. Mungkin hal kecil, tapi—“
Aku segera mengambil bungkusan merah muda di tangan Evander sebelum dia menyelesaikan kalimatnya. Satu yang bisa aku simpulkan dari Evander saat ini, dia tidak terlalu percaya diri dan selalu rendah diri. Makanya sebelum dia bisa mengatakan hal-hal buruk tentang diri sendiri, aku buru-buru menerima bungkusan itu dari Evander.
Karena penasaran, aku segera membuka bungkusan dengan merobeknya. Dan aku mengerjap ketika isinya adalah permen berbentuk bundar.
Aku tersenyum dan langsung memasukkannya ke dalam mulut. Lidahku segera mencecap rasa stroberi yang kaya di dalamnya. Manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Buangan Duke
Historical Fiction[Brothership story!] "Padahal hanya anak buangan, tapi kamu seolah memiliki kuasa seperti seorang raja!" Kalimat itu ditujukan pada Arthevian Montrose menjelang ajalnya. Tak ada yang lebih buruk daripada dipenggal mati karena sikap tidak tahu diriny...