Carlisle yang baru saja tiba di tenda, langsung menghampiriku dengan senyuman lembut di bibirnya. Sepasang netra emasnya berkilau dengan antusias seolah menyambut kehadiranku di sini.
“Arthe, aku tidak tahu jika kamu akan hadir di sini. Barusan, saat Adrian keluar dari tenda dan aku langsung menanyaimu padanya, Adrian menjawab jika kamu ada di tenda Crissalo. Jadi, aku pun buru-buru kemari karena ingin menemuimu,” jelas Carlisle dengan nada tak kalah lembutnya.
Aku tersenyum lebar sebagai balasan. Rupanya, tidak perlu bagiku untuk keluar mencari Carlisle guna memberikan saputangan itu, karena dia sendiri yang datang padaku secara sukarela.
“Kakak, duduklah,” kataku sambil melirik sofa di depanku, memberi isyarat supaya dia duduk di sana.
Karena cangkir bekas Adrian minum teh masih terletak di sana, aku pun segera menyingkirkannya dan mengambil cangkir cantik yang baru. Kemudian aku menuangkan teh dari dalam teko keramik yang sudah tersedia dan itu berjalan lancar. Tekonya sedikit berat, apalagi terbuat dari keramik dengan desain elegan, membuatku agak ketar-ketir karena memikirkan harganya, dan pemikiran aneh jika teko itu pecah karena jemariku tidak kuat menahan bebannya, tapi teh itu telah sukses dituangkan ke dalam cangkir.
Carlisle memperhatikan apa yang kulakukan dengan senyuman lembut di bibir, tangannya dia letakkan di atas meja, sewaktu-waktu ingin membantuku jika aku kesulitan.
“Arthe, terima kasih banyak.”
Aku mengangguk senang dan kembali duduk di sofaku dengan tegak. “Sama-sama, Kakak.”
Carlisle meraih cangkir teh dan menyeruput isinya, lalu dia kembali meletakkannya di atas tatakan dengan gerakan yang sangat elegan. Aku ingat jika itu adalah etiket yang pernah diajarkan oleh Nyonya Maroloe dalam kelas etiket padaku. Namun, aku masih belum bisa melakukannya seelegan Carlisle.
“Arthe, mengapa kamu mengikuti keluargamu kemari? Aku terkejut saat tahu kamu ada di sini karena anak-anak yang belum debut belum boleh menunjukkan wajahnya di perkumpulan bangsawan seperti ini,” tutur Carlisle dengan nada lembut, tidak menghakimi, dan benar-benar murni karena rasa penasaran. “Apalagi kamu sendirian di tenda, aku khawatir jika terjadi hal yang tidak diinginkan padamu. Aku sangat mengkhawatirkamu.”
“Aku baik-baik saja, Kakak! Lagipula, Coretta sudah berjanji untuk menemaniku nanti.”
“Coretta? Apa dia adalah putri dari Duke Arlene, gadis yang pernah aku lihat di kamarmu waktu itu?” tanya Carlisle.
Aku mengerjap bingung. “Eh? Kak Carlisle tidak mengenali Coretta?”
“Bukan tidak mengenalinya, tapi hanya belum pernah bertemu dengannya saja. Pertemuan pertama kami saja di kamarmu tempo hari. Lagipula, usia kalian seumuran jika aku tidak keliru, makanya dia belum debut hingga aku belum mengenalinya lebih jelas.”
Aku hanya mengangguk pelan atas penjelasan Carlilsle. Aku kira, Carlisle dan Coretta sudah pernah bertemu. Mungkin ingatanku sedikit terdistorsi karena memoriku mulai campur aduk selepas memasuki dunia gim. Seperti memoriku sebagai seorang pro gamer, isi cerita di dalam gim, memori di dunia gim, dan memori bayang-bayang mengenai kehidupan masa lalu Arthevian, meski tak banyak yang kutahu mengenai dirinya. Namun, karena terlalu banyak memori yang tersimpan, aku pun seringkali melupakan suatu perkara dan lain hal.
[Apa Tuan perlu diingatkan kapan Carlisle dan Coretta bertemu? (◍•ᴗ•◍)]
Sedikit?
[Baiklah! Kedua karakter tersebut bertemu di pesta debutante tuan dan nona bangsawan di usia mereka yang ketiga belas, Tuan! Jadi, mereka belum bertemu jika mengikuti alur gim, tetapi mereka bertemu lebih cepat daripada alur gim karena terdapat faktor eksternal yang mendorong pertemuan mereka, yaitu Anda, Tuan!]
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Buangan Duke
Fiksi Sejarah[Brothership story!] "Padahal hanya anak buangan, tapi kamu seolah memiliki kuasa seperti seorang raja!" Kalimat itu ditujukan pada Arthevian Montrose menjelang ajalnya. Tak ada yang lebih buruk daripada dipenggal mati karena sikap tidak tahu diriny...