Aroma udara pagi dan secangkir kopi hangat adalah perpaduan lengkap yang menenangkan. Kota sudah terbangun, bahkan sejak semalam tidak pernah tertidur. Para penduduk sibuk dengan kegiatan masing-masing. Kecuali dirinya yang masih memandangi bangunan pencakar langit, ditemani kopi yang mengepulkan uap. Ah, tenangnya.
Orang-orang menyebutnya bare face. Sadam selalu percaya diri dengan muka segarnya setiap bangun pagi. Tentu saja karena dia merasa tampan. Jangan dipertanyakan lagi.
"Dam, gue bawa sesuatu buat lo," kata Barry tiba-tiba saja. Ia baru kembali entah dari mana ... barangkali sibuk menyambangi jogging track atau ke mini market.
"Kenapa?" Sadam meletakkan cangkir kopi di meja pendek balkon. Atensinya tersita pada Barry yang baru saja tiba.
"Lo masih pengin kerja di brand yang waktu itu, 'kan? Nih, mereka lagi buka lowongan fotografer." Barry mengeluarkan ponsel dan menyodorkan kepada sang sahabat.
Detak jantung Sadam mendadak bekerja lebih cepat. Brand itu memang impiannya. Tentu saja ia senang bukan main. Namun, ada sesuatu yang mengganjal, sampai tidak bisa membuat keputusan secepat mungkin. Pertama-tama, ia mengecek informasi di sosial media dan halaman website brand tersebut.
Barry tidak bohong. Mereka memang berencana akan merekrut beberapa fotografer profesional. Dengan pengalaman freelancer dan portofolionya, Sadam merasa percaya diri jika ingin mengajukan surat lamaran juga. Akan tetapi, sekali lagi, ada yang memberatkan hatinya.
Padahal Sadam bisa saja bekerja di tempat Malik. Bahkan Halim—calon mertuanya—jika ia mau. Sadam tetaplah Sadam yang tidak akan mengambil keputusan dengan cepat. Ia suka membuat pengalamannya sendiri dari nol. Dari titik di mana dirinya bisa belajar dari awal. Barry kerap mengecapnya tidak bersyukur karena di luar sana banyak pekerja yang susah mencari pekerjaan.
"Lo coba, Dam. Ini impian lo sejak kita lulus kuliah, 'kan? Lo pengin magang di sana," kata Barry menyelamatkan Sadam dari lamunan.
"Entar, deh. Gue mau mikir dulu."
"Ya, ampun! Ini batasnya sampai akhir bulan. Masih ada satu minggu lagi sampai akhir bulan tiba," tukas Barry gemas.
Sadam mengangguk-angguk takzim. "Gue tau. Itu juga tertera di webstie-nya. Entahlah, gue pikir-pikir dulu."
"Mikir? Apa lagi yang mau dipikirin, Dam? Kesempatan nggak datang dua kali."
Tatapan mata Sadam beralih dari langit ibukota. Kini tertuju pada Barry yang sudah duduk di kursi bundar, tepat di samping kirinya. Sadam mendengkus, wajah Sara terbayang-bayang dalam kamuflase mata.
"Ah, lo akan menikah," kata Barry, "tapi, bukan berarti lo bisa kehilangan impian lo, Dam. Menikah bukan akhir dari segalanya. Malah bagus kalau lo punya pekerjaan. Lo punya modal untuk menafkahi Mbak Sara. Emangnya lo ... mau Mbak Sara cari nafkah buat lo?"
"Nggak gitu juga, Barry! Pernikahan gue tinggal sebentar lagi, nih. Lo baca semua syarat dan ketentuan mereka, nggak?" Sadam jadi gemas sendiri.
Sang teman kembali mengecek ponsel. Namun, dilihat dari mukanya yang tidak menampilkan ekspresi berarti, Sadam yakin bahwa Barry tidak menyadarinya. Pria bertubuh agak tambun itu melirik Sadam dengan tatapan penuh tanda tanya. Sadam menghela napas dan meletakkan cangkir di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Calon Pasutri√
Romance[Finished only on KaryaKarsa] Kata mereka hidup Sadam terlalu kaku. Sejak mendapat luka dari kekasih masa lalu, rasa-rasanya ia enggak ingin menjatuhkan hati lagi pada wanita manapun. Berangkat dari hal itulah akhirnya Sadam menerima tawaran sang pa...