Sara pernah memprediksi—bahkan kerap kali—bahwa akan datang keadaan di mana kesabarannya diuji. Keheningan ruangan menambah denyut di kepala wanita ber-blazer cokelat. Ia bolak-balik di depan pekerjanya. Meski dingin artifisial dari pendingin ruangan menerpa wajah, tetapi tetap saja Sara merasa keadaan sekitar cukup pas. Agaknya itu yang membakar api kemurkaannya sekarang."Jadi, bagaimana cara Mbak Arum mempertanggung jawabkan ini? Sudah jauh-jauh hari kita membuat persiapan. Mulai dari pengukuran sampai siap pakai begini, lalu sekarang ukurannya kekecilan? Kain tidak sesuai dengan keinginan klien?" Sara nyaris berteriak di hadapan dua karyawannya.
"Maaf, Mbak Sara. Saya dan Mbak Olie udah ngecek ulang dan memang sudah pas. Bahkan ada bukti kalau klien mengatakan semuanya sudah pas. Begitu di H-3 acara malah komplain lagi." Arum—perempuan anak satu—yang menjadi penanggung jawab gaun pesta pesanan seorang klien pun menjawab takut-takut.
Kini Sara paham duduk masalahnya. Ternyata memang bukan sepenuhnya salah para pekerjaan. Klien itulah yang menguji kesabaran. Bahkan Arum dan Olie memberikan bukti bahwa sudah ada kesepakatan di antara mereka, dibuat secara tertulis pula.
Kimberly yang ada di ruangan itu menghela napas. Suaranya bahkan didengar kedua telinga Sara. "Duduk dulu, Ra," titah Kimberly.
Jika tidak ditenangkan, Sara bisa menjadi-jadi. Akhirnya Sara mengalah juga. Pikirannya tiba-tiba penuh. Ingin sekali ia mencakar-cakar wajah klien yang terkesan mempermainkan. Kini tersisa mereka berempat di ruangan itu. Tiada pembicaraan selama sekian detik karena fokus menenangkan diri dan pikiran masing-masing.
Barulah Kimberly bersuara pada menit ke tiga. "Biar gue yang urus sama Mbak Arum dan Mbak Olie, Ra. Gue tau lo nggak cuma memikirkan D'Amore aja."
"Tolong, ya." Sara sudah menyerah detik itu. Kepalanya benar-benar serasa akan pecah. Baru tadi, dua jam lalu ia meeting dengan pihak Wedding Planner, lalu kembali ke butik.
"Lo istirahat dulu sana!" titah Kimberly. Meringis sedikit saat menyaksikan wajah Sara yang sedikit dihiasi kantung mata.
Padahal berkali-kali Kimberly dan Wilona, bahkan Salsa mengingatkan bahwa seharusnya ia tetap memperhatikan diri. Sayangnya, selama beberapa hari mengurus persiapan pernikahan dan pekerjaan di butik, Sara jadi jarang dandan. Pakai bedak seadanya dan tidak memoles diri sedetail mungkin. Bukan seperti Sara yang biasanya.
Suara ribut-ribut dari lantai utama mengalihkan atensi Sara. Apa lagi kali ini? Helaan napas kasar Sara terdengar membentur udara. Terpaksa perempuan dengan sorot mata tajam itu turun dari lantai dua. Tepat di depan kasir, terlihat seorang klien tengah memarahi pekerjanya.
"Ada apa ini?" tanya Sara.
Klien itu—seorang gadis barangkali usia dua puluhan—langsung melirik Sara. "Oh! Bagus Mbak Sara turun. Masa pekerja Anda ini memfitnah calon suami saya?!"
Kekagetan hadir di wajah Sara. Ia menatap salah satu helper yang berdiri bersama si kasir. Astaga! Seakan-akan tidak cukup kekacauan hari itu. Padahal Sara teramat ingin beristirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Calon Pasutri√
Roman d'amour[Finished only on KaryaKarsa] Kata mereka hidup Sadam terlalu kaku. Sejak mendapat luka dari kekasih masa lalu, rasa-rasanya ia enggak ingin menjatuhkan hati lagi pada wanita manapun. Berangkat dari hal itulah akhirnya Sadam menerima tawaran sang pa...