"Woy, lo nggak bangun, Dam? Alarm lo bunyi terus dari tadi," kata Barry yang sudah ketiga kalinya masuk ke kamar Sadam di unit.Lelaki bertubuh gempal itu menendang pelan kaki sahabatnya. Sejak tadi tanpa Sadam tahu, Barry sebenarnya sudah kesal. Bukan hanya karena suara alarm yang berisik, tetapi sang sahabat yang enggan beranjak dari kasur.
"Dam? Astaga, lo nggak ada acara, ya, hari ini? Bukannya semalam lo bilang mau fitting terakhir?" Barry menyeruput segelas kopi yang tersisa setengah.
"Fitting apa, sih? Hari ini bebas ... FITTING!" Sadam langsung berteriak dan bangkit dari kasur.
Tangannya dengan gerakan secepat kilat terarah pada ponsel. Gawat! Super duper gawat! Ia sudah terlambat. Sial! Bakal ada perang lagi, nih. Sadam yang menjamin.
Lelaki itu meraih kacamata dan turun tergesa-gesa dari kasur. "Anying, kenapa lo nggak bangunin gue, Bar?"
"Terus dari tadi gue ngapain? Nyinden? Alarm segitu sering bunyi, lo tetep nggak nyadar?"
Enggan meladeni Barry, Sadam segera bergegas ke kamar mandi. Ia tidak punya waktu lagi. Wajah Sara yang selalu menampilkan ekspresi jutek, ditambah kemarahan yang terpendam, pun menyerang imajinasi Sada. Belum sempat kakinya melangkah ke pintu kamar mandi, terlihat pesan masuk dari Sara.
Mbak Sara: bagus! Telpon gue nggak dijawab juga, nih? Lo ngapain aja, Sadam? Ke sini atau gue batalin pernikahan kita.
Kalau cara bicara Sara sudah super informal begitu, maka Sadam tahu bahwa calon istrinya tersebut sudah benar-benar tidak bisa membendung kemarahan. Tiap kali Sadam membuat kesalahan, ancamannya selalu sama. Pembatalan pernikahan. Enteng sekali wanita itu berpikir.
Padahal Sadam tidak pernah sedikit pun berpikir ingin membatalkan apa yang sudah mereka persiapkan. Menjelang pernikahan, mengapa rasanya makin sulit saja? Sadam tahu mereka akan menikah tanpa berlandaskan cinta, tetapi rasa-rasanya untuk membatalkan bukan hal yang gampang.
Dalam pernikahan tidak hanya ada dirinya dan Sara. Namun, ada keterlibatan keluarga. Bagaimana bisa Sadam membuat papa dan mamanya kecewa? Atau paling tidak, ia masih punya hati untuk tidak membuat orang tua Sara kecewa padanya. Jadi, demi keselamatan pernikahan, Sadam akan mempertahankan apa pun caranya, meski Sara terus mengancam akan membatalkan.
"Dam, lo malah bengong di situ. Buruan! Cuci muka sama gosok gigi aja, terus berangkat!" tegur Barry.
"Jangan bikin gue tergesa-gesa, dong."
"Yakin lo nggak mau bergegas? Kalau dilihat-lihat dari tampang lo yang kaget, pasti Mbak Sara ngancem batalin pernikahan, 'kan?"
Asem! Si Barry cenayang apa, ya? Atau diam-diam bisa baca pikiran orang? Sadam mendengkus dan segera masuk ke kamar mandi. Atas saran Barry, ia hanya mencuci muka dan bergosok gigi. Sementara hatinya terus tidak tenang membayangkan kemurkaan Sara di seberang sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Calon Pasutri√
Romance[Finished only on KaryaKarsa] Kata mereka hidup Sadam terlalu kaku. Sejak mendapat luka dari kekasih masa lalu, rasa-rasanya ia enggak ingin menjatuhkan hati lagi pada wanita manapun. Berangkat dari hal itulah akhirnya Sadam menerima tawaran sang pa...