18. Not Like We Used To

1.1K 135 94
                                    

Seminggu telah berlalu sejak kejadian itu, dan selama seminggu itu pula Teddy kehilangan kabar akan Valen. Setelah kejadian tersebut Teddy berusaha menghubungi Valen dan juga mengiriminya pesan, tapi sampai saat ini tidak ada balasan maupun panggilan telpon dari Valen untuk menanggapi Teddy.

Teddy masih marah, tentu. Tapi sebagai lelaki, ia sadar apa yang dikatakannya pada Valen tempo hari sudah berlebihan. Walaupun mungkin benar Valen yang menyebarkan berita itu, membicarakan hal sensitif tentang hubungan mereka di depan orang lain dan menjadikan hal tersebut senjata dalam argumen Teddy benar-benar diluar batasan.

Teddy memandangi ponselnya sambil menghela nafas pelan, dalam hatinya ia berharap akan ada sebuah pesan dari Valen. Walau hanya membalas dengan singkat, Teddy sangat ingin tahu kabar Valen. Sebuah tepukan di pundak Teddy mengejutkannya, Teddy menoleh dan mendapati Rajif yang menepuk pundaknya dan ia lalu duduk di samping Teddy.

"Murung banget, mas? Belum gajian?" Tanya Aji berusaha mencairkan suasana, Teddy tersenyum pahit. Setidaknya dia menghargai usaha Aji untuk mencairkan suasana.

"Capek aja, kurang tidur semalem." Jawab Teddy sambil memasukkan ponselnya kembali ke saku celananya, Aji memperhatikan ponsel Teddy dan ia langsung tahu bahwa Teddy dari tadi sedang menunggu kabar dari Valen.

"Belum ada kabar?" Tanya Aji lagi, Teddy menggeleng. "Ya, nggak kaget sih." Gumam Aji sambil bersandar ke sofa.

"Jangan bikin saya tambah ngerasa bersalah," tegur Teddy dengan nada lelah, Aji mengedikkan bahunya.

"Kalo emang menurut Mas Teddy nggak salah ya nggak usah ngerasa bersalah," sahut Aji dengan acuh, Teddy merasa agak kesal. Jujur belakangan ini memang dia agak sedikit sensitif, banyak hal sepele yang bisa membuatnya marah dan tersinggung.

"Iya, saya tahu kata-kata saya kemarin keterlaluan, dan saya berusaha minta maaf ke Valen. Tapi sampai sekarang juga nggak ada tanggapan," ujar Teddy berusaha sabar.

"Kasih waktu dulu aja, Mas. Mungkin Valen mau tenangin diri dulu," ucap Aji, Teddy hanya mengangguk. "Nanti dia bakal liput debat cawapres kan? Coba ajak ngomong aja,"

Teddy hanya diam dan memikirkan kata-kata Aji, haruskah ia bicara dengan Valen nanti? Haruskah ia minta maaf? Bagaimana kalau memang Valen yang menyebarkan semua itu??

Rizki kemudian turun dari lantai atas dan bergabung bersama Teddy dan Aji, Rizki memandangi mereka dengan heran.

"Serius amat, lagi ngomongin apa?" Tanya Rizki dengan heran.

"Itu mas Teddy lagi murung gara-gara ceweknya nggak ada kabar," jawab Aji, Rizki tertawa kecil.

"Valen? Emang masih pacaran?" Tanya Rizki kepada Teddy, sementara Teddy hanya diam sambil menatap tajam ke arah Aji. "Kalo Gue jadi Valen sih ogah, ya."

Teddy melempar bantal kursi dengan keras ke arah Rizki, membuat Rizki dan Aji tertawa terpingkal-pingkal.

"Ngomong-ngomong, kalian udah coba cari tahu siapa yang sebar berita kemarin?" Tanya Teddy dengan nada serius, Rizki dan Aji saling memandang lalu menggeleng.

"Belum sempet, agenda Bapak kemarin kan banyak banget. Ditambah juga Mas Teddy nggak ikut acara-acara publik kan, jadi kita harus kerja double" jawab Aji, diikuti dengan anggukan Rizki.

"Tapi kita pasti cari tahu kok," sahut Rizki berusaha meyakinkan Teddy. Teddy kembali diam dan memikirkan sesuatu, bagaimana jika ternyata bukan Valen? Jujur saja, hal itu lumayan menghantui pikirannya. Dia telah melakukan dan mengatakan hal-hal buruk terhadap Valen, dan jika Valen tidak melakukannya, entah bagaimana Teddy harus memperbaiki semua ini.

Pak Prasetyo lalu tiba di ruangan tempat Teddy, Rizki, dan Aji sedang berkumpul. Ia lalu memandangi mereka dengan heran, "Kok belum siap-siap di depan?? Udah mau terlambat loh ini," tegur Pak Prasetyo saat melihat mereka masih mengobrol dan bersantai di ruangan tersebut.

Safe HavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang