Bagi sebagian orang, cuaca sore yang cerah bisa membangkitkan suasana hati mereka. Matahari sore yang bersinar dengan tidak terlalu terik, disertai dengan hembusan angin pelan membuat setiap orang yang merasakannya merasa damai. Tapi tidak dengan Teddy.
Cuaca sore ini tidak membuat suasana hati Teddy membaik sedikitpun, hatinya tetap hancur, pikirannya pun tetap kalut. Teddy yang sedari tadi duduk disebuah kursi dekat danau dimana tempat itu menjadi saksi bisu dimulainya hubungan cinta antara Teddy dan Valen, hanya melamun sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya untuk bisa bertemu kembali dengan Valen.
Beberapa hari terakhir ini ia menghabiskan waktunya untuk mencari keberadaan Valen. Teddy juga menyadari bahwa Valen telah memblokir nomor teleponnya, membuat Teddy lebih kesulitan lagi untuk menghubunginya. Tak hanya nomor teleponnya, tapi semua sosial media Teddy pun telah diblokir oleh Valen. Teddy pastinya telah berkali-kali bertanya kepada Donny tentang dimana keberadaan Valen, tapi Donny tetap saja tidak memberitahunya.
Teddy terus memikirkan tentang apa yang seharusnya ia lakukan untuk mencegah kepergian Valen. Teddy juga sadar selama ia menjalin hubungan dengan Valen, banyak sekali masalah yang lebih menyakiti Valen dibanding dirinya. Masalah dengan Karina, dan yang terparah masalah dengan keluarganya. Teddy harus jujur ia masih merasa bersalah karena mungkin ia tidak terlalu membela Valen di depan keluarganya, atau mungkin ia terlambat melakukan itu. Mungkin Valen tidak tahu bahwa Teddy sudah berusaha membelanya di depan keluarganya. Teddy sudah melakukan apapun untuk membuat Valen diterima di keluarganya, tapi sepertinya Teddy lupa memeriksa keadaan Valen. Bagaimana perasaannya? Apakah ia baik-baik saja?
Teddy mengalihkan pandangannya ke sebuah surat di tangannya, ia memandang surat tersebut dengan tatapan pahit. Teddy telah membaca surat itu berulang kali, setiap ia bangun tidur, sampai saat ia mau tidur pun ia masih sempat membacanya, berharap bahwa ada sedikit petunjuk tentang kemana Valen pergi. Dengan nafas berat, Teddy kembali membuka surat tersebut. Dan dengan helaan nafas panjang, Teddy mulai membacanya.
Dear Teddy,
Kalau kamu sudah baca surat ini, itu artinya aku sudah ada di tempat yang jauh dari kamu. Aku mau kamu nggak usah khawatir.. karena aku baik-baik saja, aku bakal berusaha untuk baik-baik saja.
Mungkin kamu bakal berpikir kenapa aku harus tulis surat untuk pamit ke kamu disaat aku sebenarnya bisa ketemu kamu dan pamit secara langsung... jawabannya adalah aku tahu aku nggak bakal sanggup. Aku nggak sanggup kalau harus pamit di depan kamu, aku tahu begitu aku lihat wajah kamu, aku nggak akan sanggup untuk pergi dari kamu. Aku tahu aku egois, tapi aku lakukan ini semua demi kamu.
Selama ini aku terus berusaha untuk jadi yang terbaik buat kamu, dan untuk menjadi pantas buat keluarga kamu. Aku harus bilang disini kalau tidak adanya restu dari keluarga kamu untuk aku adalah faktor utama aku harus pergi, aku nggak bisa berada di tempat dimana kehadiranku disitu tidak dihargai. Aku tahu kamu berusaha untuk memperbaiki semua masalah ini.. tapi Teddy, aku nggak mau kamu bermasalah sama keluarga kamu.
Aku bisa lihat betapa dekatnya kamu dan keluarga-keluarga kamu. Nggak seperti aku.. yang selalu sendiri dari kecil.. aku nggak mau kamu kehilangan keharmonisan itu hanya karena aku. Aku berpikir aku nggak pantas untuk itu, aku nggak pantas jadi orang yang merusak itu.
Jadi aku memilih pergi, tanpa pamit ke kamu. Karena aku tahu kamu pasti bakal nahan aku, kamu pasti akan memikirkan ribuan cara agar masalah ini selesai, kamu selalu jadi orang dengan banyak solusi, kamu akan melakukan apapun untuk bikin aku bertahan sama kamu. Tapi Teddy.. aku minta untuk masalah ini, lepasin aku. Ini nggak mudah buat aku, sama nggak mudahnya untuk kamu pastinya.
Terima kasih karena selama beberapa bulan ini kamu sudah hadir di hidup aku, terima kasih karena sudah mencintai aku. Terima kasih karena sudah membuat aku sadar kalau aku pantas untuk dicintai, terima kasih untuk itu semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Safe Haven
RomanceSepeninggal orang tuanya, Valentine Soedibyo berjuang sendiri sedari kecil sampai ia besar dan memutuskan untuk menjadi jurnalis. Hidupnya berjalan biasa saja sampai ia harus meliput kegiatan politik di negaranya. Dan kejadian itu mempertemukannya d...