[ Mystery, Fantasy, Sci-fi, & Adventure ]
❝Jika mimpi dapat membuat sebuah kehidupan yang gila, mengapa dinyatakan mutlak tidak nyata? Darimana bisa terciptanya jikalau bukan kehidupan itu benar adanya?..❞
Mengisahkan tentang beberapa pemuda yang te...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dozi berusaha terus membobol dinding, setelah memastikan beberapa kali bahwa suara dibalik ruangan itu sungguh sosok Riga. Ia juga sudah yakin seratus persen bahwa kini ia beserta dua temannya telah sampai di Grid f5. Sementara itu, setelah Riga mengetahui teman-temannya menyusup ke Grid terlarang, ia semakin panik. Tak dapat memungkiri olehnya akan seperti ini yang terjadi.
Pandangan Riga spontan mengedar ke seluruh penjuru ruangan, mencari benda keras untuk membantu menghancurkan dinding yang membatasi antara dirinya dan teman-temannya. Tapi masalahnya, bagaimana caranya ia menghancurkan dinding berlapis baja itu? Dan sialnya, memang benar, tak ada benda apapun di sana. Ah, lagipula, benda apa yang dia harapkan pada sebuah jeruji yang berada pada bunker isolasi? bahkan naungan untuk tidur pun tidak disediakan.
Jika sudah begitu, pikirannya semakin kalut, Riga tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Sementara orang dibalik dinding itu sedang mati-matian dengan keras mendobraknya.
"Zi, percuma," ujarnya nampak putus asa, "ruangan ini dilapisi baja."
Terdengar dari balik sana masih tetap melanjutkan aksinya. "Gue nggak peduli." balas Dozi.
Ketiga pemuda itu menghancurkan dinding dengan menggunakan tangga besi yang mereka ambil secara paksa. Tidak peduli tangannya yang sudah berlumur darah. Bahkan Gena dan Drey telah melucuti baju yang keduanya kenakan untuk membungkus telapak tangan —dan hanya menanggalkan jas hitamnya, guna menghambat aliran darah dari lukanya, hal itu juga akan membantu untuk menahan dari rasa sakit serta menambah sedikit kekuatan untuk menghantam dinding. Untung saja dari sisi ketiga pemuda itu, dindingnya tak beralasan baja.
Erangan dari ketiganya nampak semakin keras. Mereka terus mengeluarkan seluruh sisa-sisa tenaganya yang ada.
Hingga akhirnya, sampailah pada dinding lapisan baja. Dozi memerintahkan untuk menjeda sesaat. Ia memberi instruksi agar mereka mengumpulkan kembali tenaga-tenaganya, sesekali mengaso.
Berlanjut kembali, suara hantaman besi yang juga beradu dengan besi, nampak terdengar semakin kencang menggema area bunker. Riga berjaga dengan perasaan was-was. Takut kalau ada yang mendengar suara keras itu, apalagi kalau sampai dihampiri oleh Lexa dan antek-anteknya.
Permukaan dinding itu sudah menonjol, yang artinya, sebentar lagi Dozi, Drey, dan Gena akan berhasil mencapai puncak titik penghancuran. Semangat mereka kian menggebu kala hal itu seolah sudah menanti. Namun tidak berlaku bagi Riga, pria itu kini justru tidak bisa diam, berjalan kesana kemari dengan kegelisahan.
Tempat sempit yang semula sangat gelap, kini Dozi sudah mendapat sedikitnya cahaya dari lubang dinding itu. Matanya mendekat, berusaha membidik sesuatu yang berada di dalam sana. Dan yap, ia menangkap sosok pria yang selama ini menjadi tujuannya.
Dinding itu akhirnya berhasil dilubangi yang sekiranya yakin bahwa tubuh mereka sudah bisa masuk ke ruangan. Tapi mereka tak langsung meloloskan diri, karena pertama, ketiganya tersenyum pada Riga, termangu menatapnya seolah pertemuan itu didasari oleh ketulusan yang dalam. Dan yang kedua, lelah mereka seakan mendadak hilang setelah melihat Riga yang nampak dengan keadaan baik-baik saja, sehat, dan segar. Meski hanya saja raut wajahnya yang nampak khawatir bukan main. Mereka memahaminya, situasinya memang tidak tepat untuk dikatakan sebuah pertemuan yang membahagiakan. Namun tetap saja, mereka sangat bersyukur.