Riga terbaring lemah di bangsal. Berada di dalam ruangan serba putih, hanya ada dirinya dan juga ranjang yang kini bersamanya. Kedua tangan dan kaki diikat kencang pada sudut ranjang. Mata sayu yang sekeliling kelopak matanya telah menghitam, bibir pucat yang sudah membiru, rambutnya pun sangat berantakan dipenuhi keringat hingga ke seluruh tubuh. Pria itu masih memberontak meski dengan tindakan lunglai tak bertenaga. Mulutnya pun kini terus mengeluarkan air liur yang belum lama ini mendadak mati rasa. Pikirannya belum sepenuhnya sadar. Ia masih berada di dalam penanganan bius.
Meski dengan penglihatan yang setengah buram dan seolah ruangan terasa berputar, namun yang ada dipikirannya saat ini hanyalah sosok gadis yang bernama Runa. Pria itu menarik-narik ikatan di pergelangan tangannya berharap terlepas dan bisa melarikan diri.
Tak lama kemudian, sosok wanita jangkung dengan jas putih selutut menghampiri bangsal. Melangkah dengan suara dari hak sepatunya membuat Riga menoleh. Pria itu menyipitkan kedua matanya yang masih setia dengan pandangan kabur. Samar-samar nan perlahan, ia pun berhasil membidik dengan jelas siapa sosok wanita itu.
Prof. Lexa.
"Tanpa melewati batas, kau akan tetap aman. Lakukan sesuai perintah, itu adalah kesepakatannya." ujar wanita itu mendekatkan diri pada Riga. Penegasan ditiap kalimatnya terdengar jelas.
Sayangnya, Riga merasa muak akan kalimat itu. Dengan kalimat itu yang terus terngiang di otaknya, membuat Riga berhasil dihantui kecemasan yang sulit untuk dikendali.
"Apa kau merasa tidak cukup jika aku mengatakannya hanya satu kali?" wanita itu menjeda.
"Kalau sudah jatuh cinta, memang bodoh." Prof. Lexa mendorong sisi kepala Riga dengan telunjuknya.
"Kau itu bukan lagi bagian dari mereka, jadi jangan sampai melewati batas." Lexa menjeda lagi, ia beralih pada mesin yang berada di samping ranjang bangsal, seperti tengah mengecek sesuatu pada layar monitor di sana.
"Kau sudah menjadi bagian dari kami, bagian dari anggota Triple Zero, tugas kau hanya satu, memata-matai mereka. Tapi kenapa kau terdeteksi telah tumbuh rasa cinta?"
Riga mengamati wanita itu sembari berusaha menyadarkan diri dari efek bius. Ia tersenyum getir. "Cinta itu tidak bisa dibuat-buat. Mana mungkin aku sengaja melakukannya. Bahkan tidak ada yang tahu bagaimana cinta itu bisa terbentuk.. "
".. jadi, aku tidak salah. Kenapa aku harus di hukum?"
Prof. Lexa menjadi geram kala mendapat penjelasan tersebut dari mulut pria yang setengah sadar. Wanita itu lantas menekan tombol dari mesin dihadapannya dengan hentakkan kuat. Hingga membuat kabel yang menghubung pada tubuh Riga mendadak menambah tekanan. Riga semakin merintih menahan sakit yang seolah seperti tersengat listrik dengan tegangan tinggi.
"Persetan dengan cinta! Lakukan perintah, atau kau akan mati di sini?!" rahang wanita itu kian mengeras.
Tindakan Riga tempo lalu, yang sampai tak sadar telah melupakan bahwa peraturan negara hanya hidup ber-individu, ia seolah bertindak murni alami secara naluriah, mendadak amat sangat menginginkan Rellona memahami sejarah negara ini, menginginkan gadis itu bisa mengerti agar mendapatkan clue yang setidaknya akan membantu ia keluar dari dimensi ini. Entah mengapa secara perlahan ketakutan-ketakutan mulai berdatangan pada dirinya sejak ia menjadi bagian dari Triple Zero, apalagi dengan tugas yang jelas berbahaya. Riga takut, jika harus berujung tragis oleh tangannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Life: Another World [END]
Ficção Científica[ Mystery, Fantasy, Sci-fi, & Adventure ] ❝Jika mimpi dapat membuat sebuah kehidupan yang gila, mengapa dinyatakan mutlak tidak nyata? Darimana bisa terciptanya jikalau bukan kehidupan itu benar adanya?..❞ Mengisahkan tentang beberapa pemuda yang te...