Jika mendung selalu mendatangkan hujan, bukankah ada pelangi yang mungkin saja datang?-Joy-
***
Senyum gadis itu terkembang, sembari melangkah ringan melewati jalan setapak. Sesekali sepatu flatnya berkecipak dengan genangan air bekas sisa hujan semalam. Tangannya menggenggam paper bag berisi hadiah spesial untuk seseorang yang jelas punya tempat di hatinya. Ia melambaikan tangan begitu sosok yang selalu berhasil menggetarkan sanubarinya terlihat dari kejauhan. Senyumnya berusaha ditahan, bersamaan rindu yang mengguncang dengan hebatnya.
Tujuh bulan bukan waktu yang singkat untuk menahan perasaan ingin bertemu. Jarak dan waktu sempat memisahkan kebersamaan.
"Gimana kerjaannya di sana? Aman? Lancar?" tanyanya berusaha menyembunyikan rasa bahagia yang nyaris meledak di dalam dada.
Begitulah dirinya, selalu berusaha terlihat biasa saja. Padahal ada ketulusan meletup-letup dan meronta ingin dilepaskan dengan lebih jujur. Namun, ia menahan diri. Bahkan untuk meminta sebuah pelukan dari sang kekasih pun terasa menegangkan baginya. Ia tidak mau dicap terlalu mudah atau bahkan lebih parahnya disebut perempuan gampangan. Meski terlihat sepele, tapi baginya itu sangat berarti. Dengan mendapatkan rengkuhan tanpa meminta, atau menerima ciuman tanpa menjelaskan hasratnya. Ia ingin ada perjuangan dari dua belah pihak. Itu saja lebih dari cukup untuk menjalin komitmen hati.
Pria itu sempat menghela napas pendek. Iya enatap dengan pandangan bingung dan sejujurnya mudah untuk diterjemahkan maknanya. Perasaan gadis itu mendadak mendung perlahan.
"Ada masalah?" Ia mencoba memastikan rasa tidak nyaman itu sebatas pikiran sensitifnya saja.
"Aku dipindah di sana."
"Serius?"
Pria itu mengangguk singkat.
"Bukannya bagus? Itu yang kamu mau selama ini, kan? Terus, apa masalahnya? Mukamu kelihatan tegang banget."
"Ada hal lain yang perlu kubilang ke kamu..."
"Soal?"
"Hubungan kita..."
"Why? Nggak usah cemas. Kamu tau aku, kan? Bukan masalah kok. Aku dukung apapun yang baik buat kamu."
Lagi-lagi pria itu menghela napas, tapi sedikit lebih panjang. Seakan ada beban berat yang harus ia ungkapkan.
"Aku nggak mau menyulitkanmu, Joy..."
"Maksudnya?" Ada letupan rasa khawatir mulai menggerayangi relung jiwa gadis berbalut blouse putih itu. Ia mencoba tetap tenang, mengalihkan rasa takut kehilangan dengan pikiran positif. Dalam diam berharap apa yang dicemaskan tidak menjadi kenyataan. "Kamu mau aku gimana? Nunggu lagi, kan? Nggak masalah buatku," tegasnya lembut.
Sayang, pria bermata legam itu justru menggeleng kilat. Kilauan penyesalan dalam retinanya seolah menjawab segalanya. Hal yang paling tidak ingin Joy lihat dari pandangan sang kekasih. Ketika dua mata elang itu meluruh dalam sendu. Rona cerah penuh sayangnya redup perlahan.
Guguran bunga di hati Joy berterbangan diterpa angin dingin. Hatinya yang semula hangat telah menggigil kedinginan. Bahkan belum dikatakan pun, ia tahu pasti akan seperti apa akhirnya dari maksud tatapan itu.
"Kita memulai semua baik-baik. Aku harap kamu mengerti. Aku nggak mau menyulitkan kamu. Kamu bebas, Joy..."
Keheningan menyergap untuk beberapa saat. Kalimat tersebut sangat jelas artinya. Namun, Joy bukan gadis yang mau menunjukkan kelemahannya di hadapan orang lain, terutama di depan seorang pria. Ia hanya mengangguk sekilas tanpa senyum kepura-puraan. Dari matanya, terpancar kekecewaan mendalam.
Tanpa menunggu sepatah kata lagi dari gadis di hadapannya, pria itu berdiri, kemudian mendekati Joy dan mengecup keningnya sekilas. "Maaf... aku pernah janji nggak akan nyakitin kamu. Dan aku melanggar janjiku. Aku terima konsekuensinya. Buatku, kamu tetap yang terbaik yang pernah kumiliki di hidupku..."
Langit di atas sana begitu cerah. Hanya saja, di atas kepala kedua orang itu, langit menjadi gelap gulita. Pria itu pergi dan meninggalkan gadis yang selama ini menggenggam harapan sangat kuat untuknya. Nyatanya, harus dilepaskan juga.
Joy tertunduk beberapa detik, hingga alarm di ponselnya berbunyi nyaring. Amat mengejutkan kehampaan batinnya yang baru saja merana akibat patah hati. Kelopak matanya memanas, tapi ia tahan sebisa mungkin. Ia bangkit dari duduk. Berlarian secepat kilat setelah membaca peringatan di alarm. Hari ini adalah hari pertama wawancara kerjanya. Ia menyempatkan diri menemui sang kekasih yang beberapa saat lalu resmi bergelar mantan. Akibat terburu-buru, ia tidak sadar hendak menyeberang jalan yang digenangi air. Sebuah sepeda melintas cepat di depannya. Serta amat sangat mendadak, berhasil menyerempet badan Joy. Joy pun tersungkur tanpa sempat mengelak.
"Woi! Jalan pake mata!" teriak pria tersebut kesal.
Joy mendongak dan melempar tatapan lebih kejam dari biasanya. Bahkan ia tidak sadar sejak kapan air matanya menetes di pipi. "Jalan pake kaki! Bukan pake mata! Naik sepeda yang bener!" balasnya penuh emosional. Ia mengusap lelehan tangis. Tubuhnya bbangkit, kemudian membuang muka dari pengendara motor yang diklasifikasikan pria.
"Cewek aneh!" pekik pria bertopi sambil mencibir sebal. "Nangis tuh di dalem kamar! Bukan di jalanan!" omelnya sarkas.
Joy menoleh sebentar. Iya mengangkat satu tangan dan mengarahkan jari tengahnya tanpa berkata apa-apa. Pria berwajah innocent itu langsung bergidik lantas merinding ngeri.
Sang pria melirik paper bag yang tergeletak di dekatnya. Awalnya ia tidak peduli, tapi entah kenapa kembali lagi dan mengambilnya. "Nyusahin aja!" ocehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Romance
General Fiction"Cowok prik!" ini yang dikatakan Joy saat pertama kali bertemu Elang. Siapa sangka akhirnya mereka malah terlibat asmara yang membingungkan. Di satu sisi, Joy belum ingin punya pacar lagi. Di sisi lain, Elang mengharap gadis itu memberikan status je...