[37] GOSIP

7 1 0
                                    




Keributan di asrama itu, mau tidak mau membuat para cewek gempar. Mereka ulang apa yang terjadi di antara Joy dan Elang. Meski sirik, tetapi kompak salah fokus dengan pesona Elang.

"Denger apa kata Elang tadi?" Mala mengoceh. Para pendengar menahan napas. Seringai puas dari wajah Mala terpampang jelas. "Salah! Gue yang mepet terus ke elo."

"Kyaaaaaa...." Suara jeritan para penggosip meledak. Seolah Ravi baru menebar ciuman jarak jauh untuk gadis-gadis itu.

Di antara trainee pria seangkatan, Elang paling menarik. Sifatnya yang ramah dan sering bercanda dengan orang lain, membuat Elang panen atensi gadis-gadis. Namun, sayang seribu sayang, hati Elang tertancap ke Joy saja.

"Oh My God, gue mau pingsan dengernya!" Windi mengepalkan tinju. Sedetik berikutnya, raut wajahnya langsung kuyu diterjang kesedihan mendalam. Patah hati ditolak mentah-mentah.

Joy dan Elang sama sekali tidak cocok. Meski sama-sama kerennya berlapis pakaian modis, tetap saja pesonanya beda. Joy cenderung angkuh dan sulit digapai karena jarang berinteraksi dengan siapapun. Itu opini sebagian para trainee perempuan. Dan masalahnya, mereka lupa diri bahwa kualitas diri para penggosip tidak lebih baik dibandingkan Joy.

"Terus Joy sama Elang jadian?" kejar wanita berambut setengah keriting dan setengahnya lagi lurus. Rupanya belum selesai melakukan catok rambut.

"Joy nggak bilang apa-apa. Malah dengan dagu keangkat itu, pergi gitu aja. Harusnya ngasih kepastian lah ke Elang. Biar gue ada kesempatan ngejar Elang." Mala semakin menggebu-gebu.

"Pepet jakendor, Mal. Lo ketolak lagi, gue yang maju." Windi ikutan memanasi.

"Sialan lo, Win. Lo pepetin aja ke Ravi."

"Nggak lah. Ravi itu aneh. Heran juga kenapa bisa akur sama Elang. Apa budaknya Elang, ya?" Si catok sebelah semakin sinis. Rupanya kurang suka dengan Ravi.

"Hush... Kata Erika, Ravi itu anaknya orang penting."

"Mau penting atau nggak, apa gunanya kalo diajak ngobrol malah ngatain gue mau mau nyolong pulpennya!" Si catok sebelah semakin tidak terima. Dendam membara, menggelegak, mendidih dan meletup penuh dituntaskan. "Attitude itu nomor satu! Gue pick Elang lah sebagai laki-laki idaman!"

"Hai bestie, udah ngobrolnya?" tanya Ratna tiba-tiba menyeruak di tengah kerumunan. Lengkap dengan sekantong gorengan panas diletakkan di meja.

Para perempuan itu kompak terdiam. Mata mereka berapi-api sehingga Ratna menyusut semakin aneh. "Apa? Ada yang kurang titipan kalian tadi?" tanyanya lagi, ikutan memasang mata laser. Ratna ogah kalah, apalagi sebagian yang berkerumun akrab dengan Erika.

Entah kemana gadis itu.

"Eh, Rat. Lo kan satu tim sama Elang. Kayak apa sih, Elang aslinya? Selera musiknya, filmnya, makanannya, tempat tongkrongannya, dan... Lo tau nggak kenapa wajah lebam abis berantemnya itu malah bikin seksi banget." Windi melayangkan pertanyaan interogasi.

Ratna semakin aneh. Dia memang akrab dengan yang lainnya, tetapi Ratna tahu batasan dan tidak ingin ikut campur dengan urusan siapapun. Dia hanya tahu privasi seseorang. Seperti Joy yang punya mantan pacar pimpinan geng terkenal, Elang yang kaya raya dan Ravi sebatas anak pungut di rumah Elang.

"Elang baik." Ratna menganggukkan kepala. Berusaha agar bisa menemukan celah untuk kabur dari kerumunan anak burung kelaparan informasi.

"Jawab spesifiknya!"

Ratna mengerutkan hidung, puas bahwa menjadi pusat perhatian barang sejenak itu menyenangkan. Dia dibutuhkan orang lain meski cuma kepo tentang Elang.

"Pokoknya mantap deh sama Elang. Semakin tinggi dia di atas kita," tandas Ratna teringat rumah Elang. Andai para gadis-gadis ini main ke rumahnya seperti kemarin, pingsan massal di gerbang perumahan tempat keluarga Elang tinggal.

Para gadis kegirangan.

"Gue bisa titip salam buat Elang?" Mala masih belum runtuh semangatnya mengejar Elang.

"Ngomong sendiri aja ke anaknya. Atau ke Joy aja yang lebih deket sama Elang. Sudah yaaaa. Aku mau balik ke kamar. Samlekom!"

Ratna menyambar sepotong pisang goreng. Anggap saja sebagai upahnya membelikan barang titipan.

Langkah kaki Ratna terangkat semakin tinggi. Senang bisa makan gorengan. Gadis itu tidak sadar di depannya terdapat timba besar berisi cairan pel.

Seperti yang diharapkan, Ratna terjungkal dengan posisi yang salah. Sepotong pisang goreng terlempar mengenai kepala seseorang yang baru keluar dari kamar.

Ratna mengerang penuh ratapan tidak bisa menyelamatkan satu-satunya camilan berharga. Lebih mengerikan lagi, sengatan tajam menjalar dari kaki kirinya.

"Punya dua bola mata makanya dipake!" Ravi bukannya membantu Ratna segera berdiri, justru mengomel sambil mengelap pipinya yang mengkilap sebelah kena minyak. Di sisi tubuhnya, terdapat sebatang tongkat panjang. Ratna semakin membulatkan mata tidak percaya kalau yang dipegang Ravi adalah tongkat pel.

"Nggak lihat!" seru Ratna membela diri. "lagian malem-malem ngapain ngepel! Lo mau jadi OB sekalian? Mau pansos biar dikira pegawai teladan di depan mata atasan? Mau kenaikan gaji gitu?" sembur Ratna.

Ravi melengos. Untuk apa dia pansos kalau semua yang berkaitan dengan BR adalah milik keluarganya.

"Asrama kayak TPS. Nggak ada yang mau bersih-bersih. Lewat aja gue males banyak bekas sandal kotor." Ravi memungut gorengan dan melempar ke tempat sampah.

Ratna membuka mulut penuh ketidakrelaan atas mubazirnya makanan.

"Ya tapi kenapa harus jam segini ngepelnya!"

"Gue nggak tenang tidur kalo kotor, Rat."

Ratna mencebik.

"Minggir lo. Atau gue pel lo sekalian."

"Rese amat sih alien satu ini. Pantas ya nggak ada yang pick Lo sebagai most wanted pegawai tahun ini. Nyebelin AW!"

Ratna semakin menjerit. Dia kesulitan berdiri. Sengatannya semakin tajam seiring kaki yang susah ditekuk.

"Nggak usah manja. Cepetan berdiri!"

"Gue nggak akan jerit kalo nggak sakit, Rav! Tanggung jawab lo udah bikin gue ancur!" Ratna semakin kesakitan. Dia tidak bisa menahan diri untuk menangis.

Masa dia harus menjelma sebagai suster ngesot versi baju kasual begini?

Ironis. Dia ditipu kalau Joy jatuh di rumah Elang. Ternyata Ratna yang betulan jatuh di asrama.

"Tolong bukain pintu. Tangan aku tidak sampai nih." Ratna memohon.

"Jangan bercanda dong, Rat. Lo nggak usah aneh-aneh."

"Aneh apanya, INI SAKIT WOI!" Ratna meledak.

Demi apapun, minta tolong ke Ravi itu pilihan nomor sekian kalau ada manusia lain yang bisa membantu Ratna. Namun, Ratna tidak tahan segera berdiri. Pergelangan kakinya memerah dan mulai bengkak.

"Nggak becus! Tolong!"

Keributan itu membuat beberapa kepala melongok dari pintu, penasaran dengan sumber suara.

"Apa sih, Rat?" Elang tiba-tiba muncul dari balkon. Sedari tadi sedang merokok sambil menikmati angin malam.

"Elang, temen baik hati yang ganteng, banyak duit, disukai orang tua," Ratna menjilat, "aku minta tolong bukain pintu. Kakiku keseleo dan orang ini nggak minta maaf sama sekali udah bikin orang kepeleset."

Ratna kembali meringis.

"Oh." Elang mendadak jadi robot rusak. Namun, tangannya segera menarik kenop pintu yang tidak terkunci.

Ratna mengesot seraya menahan mati-matian kakinya yang nyeri.

Tanpa sepatah katapun, Elang langsung menarik lengan Ratna dan menggendong sampai kasur. Semuanya semata pertolongan atas nama kemanusiaan.

"Gue cariin es batu buat kompres di bawah, Rat." Elang bergegas keluar kamar.

Begitu lepas pandangan, Elang semakin pusing dengan kebegoan Ravi. Seharusnya Ravi yang menggendong Ratna, kalang kabut mencarikan es batu dan obat anti nyeri. Lihatlah Ravi. Malah bertopang pada tongkat pel dan memainkan ponsel. Entah apa yang ada di otak Ravi.

Yang jelas, jalan menuju pacar Ratna semakin sukar ditempuh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bad RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang