[4] ES BATU DI KULKAS 2 PINTU

11 5 1
                                    




Sekian setelah bedah naskah yang lebih sepihak karena sebagian didominasi keputusan Elang, mereka membubarkan setelah kelas training usai. Joy lega bisa pulang ke rumah dan melepas lelah. Harinya sangat panjang sekali, dramatis dan berakhir membosankan

Joy sibuk melahap nasi putih hangat beserta lauk pauk andalannya. Pipinya sesekali mengembung terlihat penuh akibat mengunyah. Di atas meja terhidang lalapan daun ketela, sambal gula merah, tempe kering tepung, dan tahu kuning. Tidak ketinggalan nasi hangat yang menggugah selera pastinya. Nafsu makannya memuncak sejak sepulang dari training. Ia butuh asupan makanan pedas manis demi meredakan sakit hatinya. Minimal, ketika air mata menetes, dirinya bisa berkilah dan menyalahkan sambal di atas cobek.

Benar saja, tidak berapa lama kemudian, seseorang mendekat dan mengurut kening. Ia sangat frustrasi. Pria tinggi berkulit bersih dengan kemeja warna biru denimnya itu segera menyingkirkan cobek di dekat Joy. Sontak Joy menoleh sebal.

"Mau masuk rumah sakit lagi? Asam lambung lo udah akut banget, Joy!"

Joy menelan sisa kunyahan susah payah, sebelum membalas omelan sang kakak. "Bosen ya, jagain orang sakit? Nggak usah ribet kalo gitu!" cecarnya lebih galak.

Pria itu mengusap pucuk kepala adiknya. Ini bukan hanya belaian lembut dari seorang kakak pada adiknya. Bahkan jelas bisa dilihat dengan seksama, masih ada cinta di matanya.

Namanya Kenan. Ibu angkat Joy menikah dengan ayah Kenan beberapa tahun silam. Kebersamaan dan rasa kesepian keduanya sempat menjadi sebuah kesalahan besar. Sampai akhirnya mereka memilih berhenti dan mengalah atas keadaan. Merelakan hati yang membara padam perlahan. Nyatanya, tidak semudah itu bagi Kenan. Ia tetap saja menyayangi Joy lebih dari seharusnya.

Padahal dirinya sendiri yang mencampakkan Joy lebih dulu. Takut jika akhirnya perasaannya makin dalam. Namun, dengan cara apapun Kenan mencoba melupakan Joy, hatinya justru semakin dihujam sembilu. Tentu saja tidak ditunjukkan secara gamblang.

"Lo putus dari Adnan?"

"Bukan urusan lo..."

"Jelas jadi urusan gue. Kan gue peduli sama lo."

"Oh, ya? Gue nggak butuh rasa simpati dari lo, Old brother!" Joy menekankan kata kakak dengan sangat lugas.

Kenan menarik kursi di sebelah tempat duduk Joy. Satu tangannya memanggil pelayan rumah yang baru saja melintas. Tanpa bicara, bisa dijelaskan ia menyuruh pelayan segera membereskan semua makanan di atas meja.

"Gue masih lapar!" keluh Joy tidak terima.

"Sakit hati boleh, tapi jangan sampai badan jadi tumbalnya."

"Berisik banget jadi orang. Gue rasa sembilan puluh sembilan persen cowok di dunia punya watak sama."

Kening Kenan mengernyit, menunggu kalimat selanjutnya.

"Senang banget bikin orang terlena, habis itu... dicampakkan gitu aja! Buat apa sih susah-susah ngajak berjuang, kalo pada akhirnya kalian juga yang sepihak memutuskan berhenti?"

"Lo nyindir gue?" Kenan sedikit mengulum senyum. "Jangan samain gue dengan Adnan."

"Apa bedanya? Toh, kalian memang sama! Pecundang!"

"Hei, gue cuma sadar diri. Bukan pecundang."

"Sama aja. Pengecut ya pengecut."

"Beda, Joy."

"Tunggu deh, dipikir-pikir memang beda sih. Masih mending Adnan sedikit. Seenggaknya dia mau berusaha bertahan sebelumnya. Lhah lo? Boro-boro deh."

Kenan tertawa mendengar ocehan Joy. Ini bukan pertama kalinya ia harus mendengar hal tersebut. Telinganya sudah sangat terbiasa.

Bad RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang