[33] BABAK BELUR

0 0 0
                                    




"Sialan nih!" Ravi mengerang. Sadar seluruh tubuhnya sudah babak belur kena hajar. Dia bukan petarung yang bisa diandalkan seperti kata Ratna. Demi mendongkrak dirinya sebagai cowok jantan, Ravi nekat adu jotos. Itu pun harus selektif secara cepat memilih lawan. Dicarilah kelas bulu yang ringan dan terlihat pengecut.

Mustahil memilih yang pandai bertarung.

Rupanya, atensi Ratna kini tertuju pada Dylan.

Cewek itu. Gajah tampak di depan mata tidak terlihat. Tikus curut dari kejauhan terlihat seperti tupai. Kemarin Kenan, kini Dylan.

Ravi bete berat.

"Rat, lo oke?" Joy menoleh ke teman sekamarnya. Sejauh ini Ratna tidak apa-apa dibandingkan teman lainnya. Joy khawatir Ratna terluka parah karena tidak bisa bertarung.

"Oke."

"Bibir lo bengkak dan biru," tunjuk Joy. "Ravi juga."

Kedua orang itu berdehem serentak. Salah tingkah. Mengingat posisi disekap tadi memalukan sekali. Lebih baik kedua kawannya tidak tahu apapun.

"Nabrak tembok pas mau meloloskan diri." Ratna menyahut dan mengelus bibirnya agak kasar. Akibatnya dia sendiri yang mengerang kesakitan.

"Tembok kata lo?" Ravi tidak terima. "Gue keruntuhan gigi raksasa pas mau menyelamatkan diri!"

"Raksasa aja berani lawan gendut sendirian. Dari pada tembok yang nyarinya tembok rapuh dan tinggal roboh doang. Apaan tembok pengen kabur aja."

Joy cekikikan menyadari sindiran kedua orang itu. Selama ribut, artinya dunia baik-baik saja. Sementara itu, Elang yang menyetir masih sulit mencermati apa yang terjadi.

"Tembok, gigi raksasa. Emang ada Titan masuk ke Bumi, gaes? Sejak kapan dunia kita diserbu Makhluk Marvel?" tanya Elang.

"Sejak lo ketemu Bram, El." Joy menyahut. Sama sekali tidak ingin mengurai apa yang terjadi di antara dua kawannya.

"Nah, lo pada. Jelasin kenapa kita disekap gini?" tembak Ravi bak debat collector yang datang menagih nasabah pailit dan sukar melunasi tepat waktu.

Dengan segera, Elang menjelaskan kronologisnya. Sengaja melewatkan adegan mesra yang terjeda. Berikut akhirnya Joy yang mematahkan lengan teman Bram. Balas dendam itu berbuntut kiriman paket dan kehadiran Dylan malam ini yang turut meramaikan pertempuran.

"Ih, Joy. Kece bener. Boleh dong kenalin Dylan ke aku," sorak Ratna semakin terkesima.

"Nggak!" sahut Joy langsung tegas tanpa tedeng aling-aling. Bukan karena cemburu harus menyerahkan mantan ke kawan baru.

Joy yakin, Ratna tidak sekuat dirinya di dunia yang gelap itu.

"Why? Keren loh dia. Jago banget kalo berantem. Manly gitu."

"Dia nggak niat pacaran sama cewek lemah macam lo, Rat. Menurutnya, itu kelemahan besar punya pasangan. Dia gak mau punya siapapun di sisinya yang bisa menjadikan dirinya gelap mata kalau lawannya mengusik."

"Uh." Ratna mengerang. "Terus yakin ini nggak mau diterusin ke polisi?" tanya Ratna.

"Nggak usah."

"Ntar kalo mereka ganggu kita lagi gimana? Balas dendam lagi."

"Mereka nggak akan gangguin kita lagi. Soalnya backingan gue kuat, Rat." Joy menjawab.

"Aku penasaran sama kamu, Joy. Tapi aku nggak akan nanyain apa-apa. Keren aja sih hidup kamu. Pasti berat, tapi hebat deh." Ratna mengacungkan kedua jempolnya penuh respek.

"Lo nggak bakalan takut sama gue, Rat?" tanya Joy dan menoleh ke sampingnya.

Ratna menepuk bibirnya pelan-pelan, sedang menyusun kalimat.

"Ngapain takut? Kamu tetap kamu yang biasa aku kenal. Jutek, bawel," mata Joy melotot saat Ratna tanpa sadar mengabsen sifatnya, "tapi nggak pelit. Semoga kamu segera dipertemukan cowok yang penyayang dan melindungi kamu dari orang-orang jahat, Joy."

Elang yang menyimak malah tersenyum. Dia harap doa Ratna diterima. Karena dia sayang dan ingin melindungi Joy.

Namun, Joy terlalu tangguh daripada yang Elang duga. Cewek itu tipikal petarung. Dunianya lebih gelap dibandingkan orang lain. Yang terlihat hanyalah ujung gunung es.

"Gila ya. Dunia itu lebih gelap daripada yang aku lihat." Ratna berseloroh. Setelah disekap, malah semakin cerewet saja. Hanya itu yang bisa dia lakukan agar menutupi ketakutannya waktu disekap tadi. Mana secara konyol jadi korban penculikan salah target. Diikat erat seperti sayuran saling menghadap dengan laki-laki yang sama bawelnya dengan Ratna. Hari yang melelahkan buat diterima otak Ratna.

"Aku harap dunia kamu nggak runtuh kejatuhan tembok melulu, Rat," balas Joy kembali cekikikan.

"Tembok yang nggak termaafkan." Ratna menghela napas panjang.

"Besok, kita nggak usah masuk kerja deh. Editingnya bisa ditunda lusa. Kayaknya enak kalo kita istirahat full." Ravi mengusulkan. Telinganya gatal karena terus dikatain sebagai tembok.

Bakalan aneh kalo keempat orang itu muncul dengan muka penuh bilur biru di kantor. Menjadi sumber gosip atas perkelahian yang tidak diketahui apa kasusnya.

Masalahnya, bilur-bilur itu tidak bisa menghilang dalam sekejap. Bisa memakan waktu berminggu-minggu sampai hilang sepenuhnya.

Ravi khawatir apa yang akan terjadi dengan orang rumah kalau tahu dirinya jadi korban penculikan tepat di depan kantor perusahaan.

"Aku aja yang ke kantor. Editing sudah menjadi tugas kita. Kalian yang istirahat," Ratna menolak.

"Gue gak mau, Rat. Ntar filmnya ancur di tangan lo gimana?" Ravi menggelengkan kepala.

"Dih, nggak tahu apa? Aku itu lulusan perfilman? Aku tahu cara editing kali!" Ratna semakin mengamuk. "Kalo nggak percaya, besok datang aja dan lihat hasilnya. Bakalan serem filmnya!"

"Kita masuk nggak, Joy?" tanya Elang. Semakin pusing karena Ratna dan Ravi tidak bisa direm mulutnya. Andai ada tombol power, Elang ingin mengatur keduanya bungkam.

"Istirahat aja. Aku mau pijat seluruh tubuh." Joy tersenyum.

Elang balas tersenyum saat mengintip seraut wajah yang manis di jok belakang.

Dia lega bahwa kasus mereka telah usai tanpa ada yang mengalami luka fatal.

"Yakin nggak ada yang harus ke rumah sakit? Siapa tahu ada yang kena pukul di kepala."

"Keruntuhan tembok perlu di-CT scan nggak?" tanya Ratna.

"Ya kalo lo mau, Rat. Kita ke RS." Elang langsung bimbang. Tepat di depannya terdapat pertigaan. Jika belok kiri, menuju rumah sakit, dan jika ke kanan, langsung pulang ke asrama.

"Nggak usah. Kayak kata kalian yang nggak mau ke polisi, aku nggak mau ke RS. Okeylah kalo luka doang. Anggap aja sariawan." Ratna menyandarkan kepalanya ke bahu Joy.

"Oke kalo gitu." Elang akhirnya membelokkan mobil ke kanan, menandakan hari panjang yang usai.

Kemudian ponsel berdering. Elang berusaha menjangkau ponsel itu dari saku celana kiri. Namun, ponsel itu tergelincir dari genggaman dan jatuh ke belakang. Kontan Joy mengambil ponsel itu.

"Tante Raya telepon nih, El," kata Joy sambil lalu dan menyerahkan ke pemiliknya.

Seketika Elang menoleh ke samping, di mana Ravi malah mirip pahatan batu tertanam di tanah.

"Nggak lo angkat?"

"Mampus gue!" Elang membatin.

"Jangan diangkat!" ucap Ravi semakin malas.

"Loh, kenapa malah kamu yang ngelarang, Rav? Itu kan teleponnya Elang. Suka-suka Elang mau jawab apa nggak," seloroh Ratna tidak menyadari apa yang terjadi.

"El, matiin!"

Seketika Elang menurut. Dia tidak hanya mematikan panggilan, melainkan juga mematikan ponsel.

Malam tidak akan pernah usai kalau mamanya Ravi menelepon dan mencerca apa yang menimpa anak kesayangannya.

Bad RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang