[21] CELANA RAVI BASAH

0 0 0
                                    




"Bukan! Tetesan hujan. Minggir lo! Gue kudu ganti celana!" Ravi mendorong Ratna ke samping. Dia kabur secepat mungkin dari pandangan cewek itu.

Gara-gara bibir Ratna mengenai lehernya, Ravi sudah terpancing saja. Namun, ini terlalu cepat dan Ravi tidak tahu cara mengatasinya.

Mau tanya ke Elang, Ravi tidak berani. Tawanya bakalan menyembur sampai tembus antar galaksi. Membahana dan brutal. Bayangan Elang tertawa sudah mengerikan. Kontan Ravi menerobos ke kamar mandi.

Cairan putih kental itu membuat Ravi jijik.

Bisa-bisanya dia lemah di depan wanita. Ratna memang makhluk paling aneh, jorok, merepotkan, berisik dan cupu. Untung cewek itu tidak menggunakan kacamata tebal untuk menambah poin ketidakmenarikannya. Namun, tetap saja. Ratna itu wanita. Punya dua buah delima yang lezat serta.....

Ravi menampar pipinya sendiri sebelum otaknya menjelaskan hal paling krusial. Dia menggelengkan kepala demi kewarasan otak yang mulai geser. Kemudian Ravi membersihkan benda bawahnya dengan tisu. Bukannya berhenti, malah semakin mengeras seiring wajah Ratna terbayang saat menindihnya.

Rok sialan. Ravi ingin menggunting kain panjang norak sampai ke lutut, agar Ratna tidak tersandung dan mengulang lagi. Bibir lembab, penuh dan sedikit aroma buah itu membuat Ravi berdenyut ngilu.

Dia memijat bagian yang sakit tidak tertahankan dan berharap siksaan nikmat itu segera disudahi.

Apa-apaan ini? Gue gak mau suka sama Ratna!

Ravi mendesis. Setelah selesai, dia mengambil celana bersih dan mencuci celana kotor. Jejak memalukan itu harus dihapus sesegera mungkin.

"Rav?"

Jantung Ravi terlonjak keras. Suara berat dari luar kamar menunggu Ravi.

"Apa?"

"Gue laper. Cari makan yuk!" Elang menjawab.

"Gue sibuk!"

"Ngapain lo sibuk jam segini. Abis lihat makhluk gepeng mana lagi sampe lo horny?"

Elang bangsat!

Ravi mengumpat. Apakah Elang tidak bisa memelankan suaranya? Bagaimana kalau satu lantai mendengar ucapan jahanam Elang?

Ravi menggosok celananya lebih cepat dan dia menjemur asal di gantungan kamar mandi. Kemudian dia membuka pintu, pura-pura mengiyakan ucapan Elang.

"Eh, dasar wibu karatan. Ngenes amat idup lo. Makanya ikut gue ke klub. Ntar kenal cewek-cewek hot yang bisa puasin Lo."

Komentar yang tidak membantu. Elang bermulut kapsain. Pedas menyengat. Ravi ingin menyimpan batako ke mulut Elang agar diam.

"Nggak minat."

"Daripada komik. Gepeng, tepos, disentuh malah cuma kertas. Kalo di klub, yang Lo sentuh beneran ada."

Nggak. Gue udah ngerasain barusan meski nggak sengaja.

"Cepetan keluar. Gue tungguin." Elang mengambil ponsel di nakas dan segera keluar dari kamar.

Ravi menghela napas pendek. Selama tidak ada siapapun yang tahu, dia akan baik-baik saja. Dia akan bersikap biasa saja di depan Elang. Kapan-kapan kalau momennya tepat, Ravi bakalan minta konseling.

Ravi menyusul langkah Elang. Rupanya ada banyak trainee berkumpul di ruang tengah. Meja di depan TV besar dipepetkan ke dinding agar ruang lebih luas bagi para trainee yang duduk bersila di atas tikar. Di tengahnya, terdapat aneka makanan yang disediakan oleh pengurus asrama.

"Acara apa ini?" tanya Ravi yang duduk di samping Elang penasaran.

"Makan doang. Kan, kita gak pernah kumpul rame-rame." Elang menyambar potongan piza bertoping jamur dan nanas. Dia menoleh ke arah lain, di mana Joy duduk di sisi lainnya. Keduanya tampak akrab, bercanda satu sama lain.

Barangkali ciuman panas itu mengubah hubungan mereka menjadi lebih intens.

Berbeda dengan Ratna di seberang Ravi. Matanya melotot tajam, seolah akan melahap Ravi bulat-bulat. Diam-diam cowok itu menciut. Ada ancaman besar kalau Ratna buka mulut.

Ravi balas melotot, dengan maksud 'mau apa lo?' ke arah Ratna.

Ratna mengernyitkan hidung dengan raut serius, lalu bibirnya menyeringai sinis.

Ravi tidak bisa tinggal diam. Jari telunjuknya mengarah ke pintu luar, lalu jari tengah dan telunjuk mengarah ke matanya sendiri, seolah akan mencaplok sampai rongga mata.

"Lo keluar, gue awasi."

Ravi beranjak meninggalkan kerumunan. Dia pergi ke teras yang lebih sepi dan sejuk. Beberapa menit kemudian, Ratna menyusul. Matanya masih belum melembut sama sekali.

Ravi tidak akan terima kalau Ratna terus mengejeknya sebagai tukang ompol. Padahal lebih dari itu. Ratnalah akar masalahnya. Harus ditumpas!

Namun, cewek itu masih mengenakan rok panjang itu. Ravi menyesal tidak mengambil gunting lebih dahulu agar tidak ada insiden terulang dengan jatuhnya Ratna ke atas tubuhnya lagi.

"Apa?" sentak Ratna.

"Diem lo."

Ratna menggigit bibir bawahnya. Ravi mengerjapkan mata. Betapa seksinya cewek itu mengatupkan bibir. Kalau saja Ravi bisa menggigit dan menarik....

Oi.

Jiwanya melolong tidak terima.

"Soal tadi, jangan diceritain ke siapapun. Ngerti lo?"

"Tanpa kamu suruh, juga aku gak bilang-bilang. Ngapain cerita hal memalukan." Ratna berdecak. "Risih aku kalo ada cowok main ambil kesempatan. Untung bukan cium mukamu. Ih amit, amit!"

Ratna gemetar, menunjukkan betapa jijiknya kejadian tadi.

"Apa lo bilang? Lo udah dibantuin. Bukannya terima kasih dan minta maaf gara-gara bikin masalah, malah gini kelakuannya."

Ratna tidak peduli. Dia berbalik seraya mengibarkan rambutnya. Ravi tidak tahan didiamkan. Dia harus mendapat janji tutup mulut Ratna.

Sebelum tangan Ravi mencengkeram erat tangan cewek itu agar tidak pergi begitu saja, tiba-tiba kegelapan total melanda seisi lingkungan. Suara gaduh menjadi senyap dalam sepersekian detik. Angin ikutan membeku. Dingin menyelusup lebih cepat ke dalam ruangan seiring lampu yang mati total. Bukan cuma di asrama, melainkan di mana-mana.

Ratna gelagapan. Dia paling benci dengan kegelapan. Mengikuti insting, cewek itu menghambur ke sosok yang ada di depan. Dia bisa mendengar laju jantung yang berdetak keras, aroma Cendana, serta keringat khas yang menyenangkan.

Lupakan bahwa sosok yang dipeluk itu adalah Ravi. Kebutuhan Ratna cuma satu. Dia tidak ingin histeris di tengah kegelapan.

"Rat!" desis Ravi keberatan.

Sesak sekali dipeluk erat-erat oleh Ratna. Tangan cewek itu mendekap pinggang Ravi. Ada desiran kepanikan yang membaluri epidermis Ratna. Alis Ravi tertutup bingung.

Ratna yang cuek, heroik, dan brutal di depan Erika kemarin, telah sirna. Bahkan dalam gelap, Ravi bisa menelusuri kelemahan Ratna.

Ketakutan minim cahaya.

"Jangan tinggalin aku. Jangan kemana-mana sampai lampu nyala." Ratna memohon.

"Terus masa gue berdiri di pelukan lo berjam-jam?" protes Ravi semakin aneh.

"Pokoknya diem aja."

"Udah, masuk aja. Sepuluh langkah lurus ke depan, gue yakin lo ketemu anak-anak."

"Nggak. Di sini aja." Ratna semakin merapatkan pelukannya.

Sementara itu, Ravi mengalami keringat dingin. Hal yang tadi ingin dilupakan, malah terulang kembali. Lengan bebas Ravi menemukan bahu Ratna. Dengan gemetar, dia menangkup rahangnya. Dia tersedot oleh aroma yang berenang di udara. Panas, menggeliat dan berdenyut penuh sukacita.

Namun, sekelebat cahaya menyilaukan mata Ravi. Hingga dia mendorong Ratna sejauh-jauhnya sebelum ada yang melihat.

"Aaaaaaaak......." Ratna menjerit. Hebat, panik, serta menghebohkan seisi penghuni asrama.

Bad RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang