"Oi, berhenti lo!" cegah Ravi terus mengejar.
Ratna mengabaikan teriakan Ravi. Suasana masih sepi karena para penghuni kamar sudah rehat di kamar masing-masing. Apalagi Joy dan Ratna pulang larut, sampai tidak ada yang menyadari sosok glow up Ratna.
Panggilan alam membuat Ratna menerobos masuk ke kamar mandi.
"Oi, jangan kabur!"
Suara di luar kamar mandi itu, mau tidak mau membuat Ratna risih. Dia tidak bisa berlama-lama ada di kamar mandi. Tuntas dengan urusan satu ini, Ratna langsung membuka pintu. Tidak lupa, pasang muka judes seperti biasa.
Cewek itu telanjur malas bicara dengan Ravi. Kebaikan Ravi meminjami jaket, merosot menjadi nol koma nol nol nol sekian, tertutup oleh mulut merconnya sendiri. Sudah dipermalukan oleh seisi penghuni dengan cemoohan, Ratna belajar untuk tidak bersikap ramah pada siapapun.
Masih untung teman sekamarnya baik. Padahal Ratna sempat mengira Joy sombong. Raut mukanya terlalu susah didekati. Ternyata muka jutek Joy penuh tipuan. Hatinya baik dan tulus sekali.
Ratna menarik napas dalam-dalam. Siap tidak siap, dia harus siaga di depan Ravi. Bertengkar di kala energinya sudah terkuras total.
Hari ini berjalan sangat panjang. Aktivitas belanja menurut Ratna adalah momen paling melelahkan. Dia bolak-balik uji coba baju-baju baru yang jauh dari seleranya. Disusul perawatan maksimal di salon.
Keinginan Ratna di sisa hari itu hanya satu. Dia ingin tengkurap di atas kasur, agar besok saat masuk kerja, kondisi fisiknya kembali prima.
Ravi telah menunggu Ratna di depan kamar mandi. Bendera permusuhan terpancang dari binar mata Ravi.
"SIAPA LO?" selidik Ravi penuh tuntutan. Kedua tangannya terlipat ke dada.
"Apaan sih, Rav!" Ratna memberengut.
Ravi memicingkan mata. Kapasitas otaknya terlalu penuh, sehingga butuh beberapa detik untuk mengenali suara familiar itu.
"Lo...?" Ucapan Ravi terpotong. Sibuk sekali menjelajahi daftar nama kenalan dengan raut wajah cemberut itu. "Masa sih betulan Ratna?"
"Iya. Ini aku. Minggir kamu!"
Ravi tertegun. Apalagi cewek itu cuma mengenakan tanktop dengan tali tipis menggantung di bahunya. Ravi khawatir kalau ada tornado lewat, pakaian itu bisa luruh menumpahkan isinya. Garis tipis mengintip dari dadanya. Ravi teringat akan sentuhan fisik tidak berulang kemarin.
Sialan, batin Ravi mengamuk lagi. Tornado telah menghajar Ravi lagi. Hingga di ujung nyaris terpicu ledakan. Ravi menegang seketika. Dia mengalihkan pandangannya dari wajah Ratna. Namun, matanya tertumbuk ke bawah, menyaksikan tornadonya semakin menggila.
Ratna tidak mengenakan rok panjang norak lagi. Sepasang kaki jenjang terekspos sempurna selagi Ratna mengenakan celana pendek.
Jakun cowok itu naik turun. Imajinasinya kembali liar. Ratna terlalu berbeda dari yang diingat kemarin. Apalagi gaya rambut barunya membuatnya lebih segar. Seharusnya Ratna mengenakan pakaian lamanya lagi. Lebih tertutup sehingga tidak akan ada undangan angin ribut mengaduk otak, mata, hati dan tombak yang membelesak ingin terbang dari secarik kain sempit.
"Kenapa lo berubah?" tanya Ravi otomatis. Agak menyayangkan perubahan Ratna yang berani tampil terbuka.
"Pengen aja."
"Lo kehabisan duit sampe beli baju minim kain?" tegur Ravi belum percaya dengan transformasi Ratna. Terlalu drastis dipandang.
"Terus kenapa? Apa urusannya sama kamu?" Kepala Ratna terangkat, siap melawan argumen Ravi. "Bapak aku juga bukan."
Kedua telapak tangan Ratna mengepal. Tawa penuh cemoohan orang lain kemarin lumayan menyakitkan. Dia menerima semua anjuran Joy untuk berbenah. Minimal mau merawat diri setelah sebelum-sebelumnya terlalu cuek.
"Bagusan kemarin." Ravi ikutan melengos. "Gaya itu nggak pas buat lo. Lo mirip cewek-cewek di lampu merah."
"Heh, tukang ompol, diam kamu!" Ratna semakin tersinggung.
Tidak ada niatan bagi Ratna memakai tanktop saja. Dia lupa bahwa asrama ini penghuninya campuran. Sangat disayangkan bahwa kamar mandinya berada di luar, sehingga harus memakai pakaian cukup sopan sebelum dan sesudah mandi.
Ravi belum tahu rasanya jadi cewek. Berjam-jam mati kebosanan di salon. Merasakan seluruh kulitnya dikelupas agar lebih glowing. Bahkan Ratna masuk telinga kiri keluar telinga kanan sewaktu perias mengajari cara berdandan dengan benar. Sebagai cowok, seharusnya tidak usah asal komentar soal bagusan mana penampilannya.
Refleks Ravi membekap mulut Ratna. Dorongan cowok itu menyebabkan punggung Ratna menempel ke sisi tembok. Dada mereka berdempetan dalam misi perang tuntutan tutup mulut.
"Lo yang harusnya tutup mulut." Ravi berkata penuh tekanan.
Ratna memberontak. Tenaganya kalah dibandingkan Ravi, tetapi kekuatan dan kemarahan membuatnya lebih bertenaga. Dia balas mendorong Ravi.
"Terserah aku mau ngatain kamu apaan. Emang faktanya kamu ngompol. Celanamu basah kemarin."
"Basah karena air hujan, Rat!"
"Hujan dari mana? Dua hari ini nggak ada hujan kali. Bangunan ini lantai empat. Ya masa ada air rembesan masuk di lantai dua dan ngenai bokong kamu pas jatuh!" balas Ratna.
"Hujan!" Ravi bersikeras. Pipinya memerah menahan malu. Dia mundur selangkah. Kaget karena berani menyentuh kulit Ratna.
"Air hujan, Ratna!"
"Nggak hujan. Kamu ngompol. Gangguan prostat kali kamu ah."
"Nggak!"
"Oke kalo nggak ngompol atau hujan. Terus apa dong?"
Ratna tidak sadar Ravi semakin terganggu. Dia tidak bisa mengakui kebenarannya kalau Ratna berhasil membangunkan birahinya.
Semakin disangkal, semakin kuat gambaran Ratna dalam fantasi Ravi. Seharian itu Ravi mengunci diri sembari mencengkeram lembaran tisu. Untung Elang sedang nongkrong di luar. Diperparah dengan penampilan Ratna malam ini. Terlalu mengundang Ravi untuk melahap bibir cewek itu penuh-penuh.
Tidak seharusnya Ravi terbangun. Dia tidak mau rusak demi apapun. Keperjakaannya hanya dipersembahkan untuk wanita yang anggun, cerdas, bertutur lemah lembut serta resmi menjadi istrinya kelak.
Bukan kepada cewek udik yang tiba-tiba memakai bahan minim.
"Hujan. Pokoknya gara-gara lo jatuh ke atas gue." Ravi mendesis.
Salah lo juga malam ini menarik, Rat.
Ravi mundur perlahan. Dia terlalu jauh menyentuh Ratna. Dengan segera Ravi berbalik menuju kamarnya sendiri.
Ratna mengibaskan tangannya. Dia benar-benar ingin menampar Ravi. Apa salahnya untuk berubah? Tidak bisakah dia hidup sewajarnya. Menjadi lebih cantik seperti standard orang lain? Minimal merawat diri sendiri demi kebahagiaan sendiri?
Argh... Sudahlah. Kepalanya mau pecah. Bukannya bisa tidur, Ratna malah memejamkan mata. Dia semakin geli dengan cowok temperamental tukang ngompol.
Kalau Ravi berani macam-macam, Ratna tinggal memberitahu yang lain. Itu kelemahan Ravi. Kenapa tidak kepikiran untuk mengancam Ravi tadi? Ratna merutuk kepalanya yang punya daya ingat rendah. Semestinya Ravi tidak berkutik di bawah kendalinya kalau berhasil diancam.
Ratna melangkahkan kaki ke kamarnya sendiri. Kapan-kapan kalau ada kesempatan, Ravi harus diingatkan. Ratna tidak punya apa-apa untuk kompromi. Beda dengan Ravi yang sibuk dengan citranya sendiri. Ogah dikatain tukang ompol.
Awas aja kamu, Rav. Wanita yang bisa ngedeketin kamu bakalan mati ketawa campur malu karena punya pasangan tukang ngompol!
Ratna menyeringai, puas menyampaikan kutukan ke arah pintu kamar Ravi seraya mengacungkan jari tengah. Dia memeletkan lidah dan kembali masuk kamar sebelum ketahuan orang lain karena dianggap gila.
![](https://img.wattpad.com/cover/370628341-288-k921393.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Romance
Fiction générale"Cowok prik!" ini yang dikatakan Joy saat pertama kali bertemu Elang. Siapa sangka akhirnya mereka malah terlibat asmara yang membingungkan. Di satu sisi, Joy belum ingin punya pacar lagi. Di sisi lain, Elang mengharap gadis itu memberikan status je...