[7] REM, TOLONG!

3 2 0
                                    




Tidak ada yang bisa dihentikan oleh semesta. Berikut dengan waktu yang melaju kilat dari segala arah. Ratna membeku begitu mesin mendengung lebih kencang.

Dia bukan penggila F1 ataupun moto GP, tetapi bendera hitam putih yang berkibar ke bawah itu merupakan isyarat pengemudi harus lepas landas.

Tidak ada jalan keluar. Kedua tangan Ratna bergerak otomatis ke arah pegangan sisi penumpang.

Ravi menginjak gas sekeras mungkin. Dia kehilangan momentum gara-gara Ratna. Tidak mau kalah lomba, cowok itu memfokuskan diri ke laju jalanan. Gemuruh penonton menggila di luar, tetapi gemuruh di dalam mobil jauh lebih memekakkan.

Ratna menjerit campur tangis pilu. Pasti dia tidak pernah naik wahana seru yang memompa jantung habis-habisan.

Untungnya Ratna tepat waktu memasangkan sabuk pengaman. Sehingga keselamatannya lebih terjaga jika ada apa-apa.

"MONYET!" Ratna memaki. "ANJING. BABI. SAPI. WEDHOSSSSS!"

Ravi mengebut dengan kecepatan di atas 120 km/jam. Di depannya ada tikungan dan Ravi tidak mengurangi kecepatan. Ban berdecit diiringi ratapan Ratna yang tidak mau mati tertabrak.

"BISA DIAM GAK SIH LO!" Ravi balas mengamuk. Benar-benar terganggu dengan jeritan Ratna. Telinganya berfungsi sangat normal dan tidak bisa menerima jeritan yang mengancam telinganya menjadi budek permanen.

"Gimana aku bisa diem kalau udah di depan malaikat sakaratul maut!" balas Ratna tidak kuasa. Air matanya terus mengucur. Berharap balapannya disudahi saja.

Namun, Ravi tidak bisa diam setelah menginjak pedal gas. Cowok itu menyipitkan mata, melihat jalur lawan arah yang aman. Dia mengoper gigi, menginjak pedal gas dan menyalip mobil lawannya. Kini posisinya naik kedua. Masih ada putaran terakhir untuk posisi pertama.

Ravi menyeringai puas bisa memblokir akses mobil di belakangnya. Dia fokus menemukan momentum untuk menyalip satu mobil lagi.

"Kalo lo berhenti nangis dan gue menang, malam ini gue turutin mau lo."

"AKU GAK MAU MATI. REM REM REM!" Ratna meledak semakin histeris. Tidak mau mendengarkan bujukan Ravi.

"DIREM NTAR DITABRAK DARI BELAKANG, NGERTI GAK LO!" Akhirnya Ravi ikutan berteriak. Dia terganggu dengan jeritan Ratna. Mulut berisik Ratna memang tidak bisa direm. Akhirnya tangan Ravi membekap mulut Ratna sebelum sempat dibalas.

Ratna balas menggigit telapak tangan Ravi. Lagaknya persis anjing liar. Kontan Ravi ikutan menjerit akibat gigitan barbar Ratna.

"Lo anjing gila apa?"

"Lo yang gila. Ngebut amat!"

"Namanya juga balapan!"

"Aku mau turun!"

"Turun aja sekarang."

"Terus aku jadi dadar gulung dan berlapis darah di pinggir jalan? Tega amat kamu, Rav!"

"Berisik lo."

"Tanggung jawab yang bener dong. Turun!"

Ravi semakin frustrasi. Dia ingat pesan yang membuat Rani ngakak terpingkal-pingkal tadi dan inilah alasan Ravi mau mengikuti ajang balapan. Demi mengenyahkan jengkel akibat ledekan Rani dan Elang. Ternyata percuma kalau dalangnya muncul dalam sekejap di mobil. Mengganggu konsentrasinya lagi.

"Tanggung-tanggung. Gue punya hutang apa sama lo sampe main loncat masuk mobil gue! Kalau penakut gini gak usah nekat!" imbuhnya belum puas menegur kebegoan Ratna.

"Aku gak mau menyia-nyiakan kesempatan aku kerja di BR, Rav." Ratna kembali berteriak gara-gara Ravi zig-zag berusaha menyalip mobil. "Besok kelompok kita presentasi pagi, dan kalian nggak ada kabar buat soal kesiapan naskahnya. Aku harus tahu agar kita punya persiapan lain kalau terjadi sesuatu yang di luar kehendak kita."

Akhirnya Ratna lega menyampaikan motifnya, tetapi sensasi itu bertahan singkat. Muncul gelombang lain yang mengaduk perutnya. Kepala Ratna berputar dan ada banyak penampakan semut menghubungi penglihatannya.

"Rav, kok gelap. Kita mati apa, Rav? Gue pusing." oceh Ratna tidak karuan.

"Gitu doang udah mabok."

Erangan lemah merasuk dalam pendengaran Ravi.

Ravi akhirnya memberanikan diri melirik ke sebelahnya. Seluruh jarinya terkepal pada gagang kemudi.

"Eh, lo jangan muntah ke mobil gue. Gue nggak sedia plastik!" sergah Ravi semakin panik.

Ratna mengembungkan pipi dengan satu tangan mengatup di bibir. Dia baru saja menghabiskan dua kotak nasi goreng untuk balas dendam sangking laparnya setelah seharian mengikuti kelas training dilanjut dengan belanja pakaian di mal.

Ravi semakin diburu waktu. Dia menginjak pedal gasnya lagi dan deru ban mendecit semakin kencang, meninggalkan jejak dalam pada aspal hotmix.

Ravi tidak tinggal diam. Dia benci kalau kalah balapan dan bonus muntahan Ratna. Akhirnya Raffi mencapai posisi pertama setelah menyalip mobil terakhir dengan jarak 50 meter dari garis finish. Sorak sorai semakin menggema karena Ravi menjaga kemenangan runtuhnya yang ke-4. Dia tidak tahu kapan akan kembali mengikuti ajang balap lomba. Andai tidak karena Ratna, Ravi bakalan melanjutkan perjalanan sebagai acara seremonialnya.

Ban menghantam pinggiran jalan setelah menjauh dari beberapa penonton. Pintu sisi penumpang menjeblak terbuka. Ratna memuntahkan isinya dan Ravi harus menahan diri tidak ikutan muntah.

"Ratna, lo kenapa?"

Setelah menyusul tidak lama kemudian kemudian ia mundur beberapa langkah sebelum kena cipratan basah itu.

"O ow...." Elang membeo.

"Aku nggak akan maafin kalian yang bersenang-senang malam ini. Sekarang kita harus kumpul untuk menyelesaikan tugas perusahaan." Ratna menyeka mulutnya.

"Ini sudah nyaris subuh, Ratna. Kita harus tidur," sanggah Joy, terang-terangan menguap.

"Kamu boleh tidur, Joy. Tapi nggak dengan dua cecunguk ini. Elang, Ravi. Tanggung jawab kalian mana, hoeeeeek."

Karena tidak bisa menahan gelombang kedua yang mengaduk otak, hati dan perutnya. Seluruh tubuhnya terlalu sakit dan tegang dalam menghadapi tekanan yang akan datang beberapa jam lagi.

"Lo kalo berdedikasi totalitas banget sih. Padahal baru trainee doang." Ravi tidak terima.

"Aku bukan orang kaya yang kerjaannya terus bersenang-senang. Aku nggak mau dipecat begitu aja hanya karena kerjaan yang nggak kelar dari kelompok menyebalkan. Karena trainee, aku harus melakukannya. Kalau kalian nggak niat kerja, seenggaknya tolong bantu aku untuk bertahan. Jangan menyeret orang yang sudah mati-matian mencari kerjaan, dihempaskan gitu aja!"

Ratna bicara dengan ketepatan LTE. Elang dan Ravi bertemu pandang. Sulit memahami ucapan Ratna yang sengau menahan mual.

"Well, oke kalo gitu. Biar Ravi kelarin sinopsisnya. Ada di elo, kan, Rav?" Elang bicara penuh percaya diri.

"Laptop gue dibawa Rani ke Bali buat liburan dan ngedrakor."

"So?" timbrung Joy.

"Filenya ada di situ. Gue nggak punya cadangannya di drive."

Ratna mengerang semakin putus asa. Sia-sia dirinya mengejar Ravi dan Elang sampai mabuk darat begini. Harusnya dia saja yang menyusun rancangan cerita sampai desain presentasi, hingga ketika temannya bisa mempelajari gambaran besarnya.

"Telepon dia. Suruh kirim filenya," perintah Ratna.

"Masalahnya, gue gak mau kasih file-file penting gue ke sembarang orang. Rani nggak akan bisa akses file enkripsi kalo nggak gue buka kodenya."

"Kita ke asrama perusahaan sekarang. Nggak boleh ada yang bisa merem barang sedetik pun. Joy, pastiin Elang nggak kabur. Gue sama sosiopat satu ini." Jari telunjuk Ratna mengarah ke Ravi. Tatapannya berapi-api penuh tekad.

Kedua orang itu tahu, masalahnya sedang serius kalau tugas yang disusun seharian sudah hilang karena kecerobohan Ravi.

"Gue aja yang ngerjain sendiri," sambar Ravi.

"Nggak! Gue nggak percaya sama lo. BE-RANG-KAT-SE-KA-RANG!" tegas Ratna semakin tidak bisa diganggu gugat.

Bad RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang