[ 47. ]

18.7K 3.3K 808
                                    


Aku datang di siang hari yang pwanash ini, fyuuhh~
Salam 31 derajat!

.

2.500 kata untuk bab ini
Belum sempat baca ulang karena kudu lanjut meeting, kalau ada typo dimaklumin aja. Hahaha

Terima kasih.

🍯

[ 47. ]

"It's fine, everything gonna be fine." Esa mengafirmasi diri, kemudian mengatur napas dengan baik dan lancar.

Satu jam lalu dirinya dan Tsabitah sudah mengantar sang ibu ke bandara. Sekarang tinggal mengurus makan malam, menemani Tsabitah nonton film lalu pamit tidur.

Tidur di kamar masing-masing!
Esa menegaskan itu dalam pikirannya lalu keluar dari kamar. Ia pasti bisa melewati hari-hari yang tersisa dengan baik dan tetap memegang teguh prinsip hidupnya.

"Bee ..." panggil Esa karena suasana rumah terasa sepi.

"Ruang makan, Mas," jawab Tsabitah.

Esa bergegas menyusul, mendapati tunangannya mengenakan apron dan menyiapkan beberapa jenis makanan di meja. "Oh, kamu masak?"

"Supnya yang tadi dibikin Mama tinggal angetin, ayamnya juga udah dimarinasi Mama tinggal goreng, hahaha ... aku cuma bikin telur gulung sama capcay goreng aja. Kepengin makan sayur." Tsabitah kemudian membuka rice cooker dan memastikan nasinya tanak. "Pulen banget nasinya, Mas mau diambilin sekarang?"

Esa tersenyum. "Oke."

Tsabitah mengambil mangkuk nasi, mengisinya dengan porsi cukup lalu menyodorkan pada Esa. Ia kemudian mengambil sendiri, porsi yang lebih sedikit. Ia baru akan ganti menuangkan sup saat Esa sudah bergerak, mengambil sendok sup lalu menuangkannya ke setiap mangkuk kosong bercorak bunga teratai.

Tsabitah tersenyum saat potongan tomat di mangkuk supnya lebih banyak dari Esa. Lelaki itu masih hafal, betapa dirinya menyukai potongan tomat pada sup yang gurih dan segar.

"Terima kasih," ujar Tsabitah kala mereka berdua siap makan.

Esa mengangguk, memejamkan mata untuk berdoa lalu berujar pelan, "Itadakimasu."

"Oh, sampai lupa, kecap asinnya 'kan—"

"Enggak usah, Bee, ini udah enak kok." Esa menyela dengan tenang dan tetap tersenyum saat menikmati telur gulung buatan Tsabitah.

"Aku beneran enggak nambahin apa-apa di telur sama capcaynya, Mas."

Esa tahu itu, rasa makanan untuk Tsabitah memang nyaris selalu hambar. Jika ada sang ibu hal itu dapat diakali dengan penggunaan beberapa rempah, namun apa yang Tsabitah usahakan sekarang sudah cukup. Setiap lauk dan sayur juga matang sempurna.

"Beneran enak, Mas?" tanya Tsabitah saat Esa melanjutkan suapan makanan dengan menambahkan capcay, tampak menikmatinya.

"Iya, enak kok. Sejak kapan belajar memasak?"

Tsabitah tersenyum lega. "Sebelum tinggal sendiri di Jakarta, pokoknya harus bisa basic life skill jadinya aku belajar deh ... eh tapi udah belajar juga, sukanya Bunda tuh pesenin catering, atau kalau ada urusan ke Jakarta nyetok lauk. Tante Rika juga suka nyuruh Mbak harian gitu buat urus laundry, setrika, bersih-bersih, sama isi kulkas. Jadi sama aja, yang aku belajar nyaris enggak guna."

Esa tertawa pelan, sudah jelas betapa tidak mudah bagi keluarga Ruslantama dalam melepas Tsabitah hidup mandiri. Ia juga sebenarnya cukup takjub, karena meski sudah sering melihat Tsabitah membantu kegiatan memasak sang ibu, atau menyiapkan meja makan namun tidak menyangka gadis itu benar-benar bisa memasak sendiri dan rasanya enak.

REPUTATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang