[ Epilog ]

33.2K 4.1K 2.4K
                                    

[ Epilog ]

Tsabitah POV

Aku dan Mas Esa sama-sama terpaku menatap cuplikan berita dan kiriman video dari Noella

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku dan Mas Esa sama-sama terpaku menatap cuplikan berita dan kiriman video dari Noella. Astaga, ini … benar-benar mengerikan, proses pendaratan itu bukan hanya darurat karena panjang landasan atau runway yang tidak memadai, ditambah kepulan asapnya juga.

“Mama,” kataku cepat meski Mas Esa lebih dulu meraih tanganku, menggenggamnya selama beberapa detik lalu menggandengku turun ke ruang tengah.

Mama terpaku memegang gagang telepon dengan tangis yang mengalir di wajahnya. “Ternyata udah dari kemarin kecelakaannya itu, sama Ravel juga, Waffa retak rusuk dua dan masih sesak napas.”

Aku langsung beralih memeluk Mama sementara Mas Esa mengambil alih telepon, kedengaran melanjutkan berbincang dengan Papa.

“Terus Lyre gimana, Pa? … oh, syukurlah. Iya, Bita enggak apa-apa. Aku antar Mama kalau udah tenang.”

“Gimana, Mas?” tanyaku begitu gagang telepon ditutup.

“Lyre enggak apa-apa, Kagendra juga, Ravel sama Dede enggak luka cuma kaget dan syok. Waffa minta rawat jalan aja, soalnya enggak suka rumah sakit.”

“Lah, gimana cederanya?” tanyaku heran.

“Aman,” kata Mas Esa lalu menatap Mama yang mulai tenang. “Ma, Papa mau langsung ke Jakarta … Mama mau dibantu packing apa?”

“Oh, iya, iya. Tapi, kalian gimana?”

“Aku ada kerjaan yang deadline-nya mepet, Bita juga. Jangan khawatir, ada Mbak Anas sama Simbok di sini,” ujar Mas Esa lalu berlutut di hadapan Mama dan tersenyum. “Mama bantuin Mama Kinar aja, Lyre juga harus dijaga tetap tenang … kalau ada Mama di sana dia pasti lega.”

Aku mengangguk. “Iya, Mama jangan khawatir sama aku dan Mas Esa … ada Ayah-Bunda juga.”

“Ya udah, Mama siap-siap dulu.”

Mama beranjak pergi ke kamarnya dan aku memastikan ke Mas Esa yang sekarang sibuk mengetik. “Situasinya beneran aman ‘kan di Jakarta, Mas?”

“Iya, ini Waffa udah balasin chatku di grup, katanya waktu beralih ketinggian, two birds hit the left engine, muncul nyala api makanya langsung pilih option pendaratan darurat. Semuanya selamat.” Mas Esa menunjukkan bukti chat di ponselnya dan aku membaca cepat.

“Untung ada private runway yang bisa diakses, ya ampun, pasti gila banget pengambilan keputusannya.”

“Waffa memang enggak mungkin nekat kalau urusannya Desire dan Ravel,” ujar Mas Esa lalu menghela napas panjang dan beralih memelukku. “Ya, Tuhan … syukurlah.”

Aku mengucap syukur yang sama dalam hati, setelah itu mengusap-usap lengan kiri Mas Esa yang mendekap pinggangku.

“Mas Kaka belum balas chat ya? Itu tadi cuma ada Mas Esa sama Waffa yang komunikasi.”

REPUTATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang