Chapter 19

1.2K 87 1
                                    

Sore ini ketiga bersaudara itu pergi ke sebuah tempat yang seminggu sekali mereka kunjungi. Tempat dimana mereka akan bertemu dengan orang yang sangat spesial. Tak lupa mereka juga membeli bunga untuk oleh oleh orang spesial tersebut.

"Sore bunda. Liat deh Mellody bawa bunga kesukaan bunda" kata gadis itu yang sangat antusias. Sementara Gio dan Zio masih berdiri di belakang Mellody dan terlihat santai seperti biasa.

"Sore bun" sapa Gio dan Zio bersamaan.

"Udah ah, kita langsung berdoa aja" lanjut Gio mengintruksi diikuti anggukan kedua adiknya. Mellody kemudian menaruh sebuket bunga lili putih itu di atas nisan. Nisan yang bertuliskan 'Riska Nabelia'. Ya, itu adalah nama bunda mereka yang lima tahun lalu perjuangan untuk melawan penyakit kankernya berhenti.

"Bunda apa kabar? Kita disini baik. Ayah masih seperti dulu yang sibuk dengan buku buku tebalnya" ucap Mellody setelah gadis itu selesai berdoa.

"Mellody juga sibuk sama gebetan barunya bun" sahut Zio menggoda adik perempuanya itu.

"Kak Zio juga sibuk di bodoh bodohin sama pacar barunya bun. Sekarang kak Zio merangkap jadi tukang ojek dadakan" ejek Mellody tak mau kalah. Zio hanya mendengus kesal sambil sesekali melirik tajam ke arah Mellody.

"Kalau kak Gio lagi deket sama wakil ketua OSIS bun.. hehehe lucu deh liat kak Gio yang cinta lokasi" Mellody beralih mengejek Gio kali ini. Tapi Gio seolah tak masalah dengan ejekan adiknya. Dia masih santai.

"Gue tau pasti bunda disana lagi ngomong gini. 'Anak bunda udah gede ternyata'." Ujar Gio pada Mellody dan Zio.

"Terus terus, pasti bunda lagi ngerumpiin kita sama bidadari bidadari disana" tambah Zio yang mambuat ketiga bersaudara itu kompak tertawa.

"Bunda gak kayak kak Zio yang tukang gosip. Ya kan bun?" Timpal Mellody yang sejak tadi masih sibuk mengelus elus nisan bundanya.

"Bunda, kalau ada bidadari di sana. Suruh turun ke bumi kek. Stok orang cantik di bumi udah menipis nih bun" tutur Zio yang sama bawelnya dengan Mellody. Zio merasakan lengannya di senggol senggol oleh adik perempuanya itu.

"Apaan?" Tanya Zio jengah.

"Kakak gak liat ada cewek cantik disini? Ini cewek cantik stok terakhir yang sudah terbukti oleh IPB dan ITB lho kakk" jawab Mellody disertai cengiran jailnya. Zio membuang muka sambil memeletkan lidahnya. Memberi kasan jijik atas omongan Mellody. Padahal dalam hati kecil Zio, ia mengakui kecantikan Mellody.

"Iya kan bun?" Sambung Mellody seolah sedang mengadu pada bundanya.

"Pasti disana bunda bilang gini 'anakku sayang, apa kamu di rumah tidak pernah bercermin? Lihat mukamu itu, macam pantat ayam'." Ledek Zio dan tawanya meledak saat itu. Ia merasakan lengannya sedang di pukul pukul oleh Mellody.

"Bunda gak mungkin mulutnya lemes kayak kak Zio!!" Omel Mellody dan perdebatan bengan Zio siap di mulai.

"Terus kak Zio apa kabar? Merasa dirinya ganteng?" Sambung Mellody berkacak pinggang. Detik berikutnya Zio malah membusungkan dada sambil menepuk nepuk. Memberi kesan bangga pada dirinya sendiri.

"Gue ini ganteng, tampan, bijaksana, pengertian, keren, baik, menyayangi orang tua, rajin me--"

"Rajin menabung? Hormati guru? Sayangi teman? Situ kak Zio apa Budiman?" Potong Mellody sebelum Zio menyelesaikan ucapannya. Zio hanya mendengus geli. Sesekali meniup niup anak rambut yang jatuh ke keningnya. Kebiasaan.

"Bun.." panggil Gio dengan suara lirih. Akhirnya lelaki itu angkat bicara juga setelah sejak tadi hanya stay cool.

"Gio sayang bunda" lanjut Gio lagi dan kali ini bahunya bergetar, disusul air mata yang mengalir dari pelupuk mata indah Gio. Mellody dan Zio hanya saling lirik. Baru kali ini ia melihat kakaknya itu menangis di depan mereka. Bahkan dulu saat bunda meninggal saja Gio tak terlihat menangis di depan umum. Tapi Mellody menyadari mata Gio yang merah dan sembab jika keluar dari kamarnya. Berbeda dengan Mellody dan Zio yang menangis seharian.

Gerakan refleks itu membuat Mellody memeluk Gio erat. Hanya ini yang ia punya untuk membuat Gio lebih tenang.

"Kami sayang bunda" ralat Gio kembali. Semuanya kembali terlarut dalam keheningan masing masing.

"Jangan gini terus dong, entar gue ikutan mewek" rutuk Zio dengan suara bergetar. Hahaha, sepertinya ia memang sedang menahan tangis.

"Mewek aja, gak ada yang peduli juga" ujar Mellody cepat.

"Ah elo mah adik pilih kasih, tadi Gio mewek elo peluk. Lah giliran gue mewek dipeluk siapa dong?" Zio menampakkan ekspresi melasnya membuat Mellody tertawa lalu memukul lengan kakaknya itu. Tanpa ba-bi-bu lagi, Mellody segera memeluk Zio dengan erat pula.

Akhirnya Zio dapat tersenyum bangga juga kali ini. Jarang jarang adiknya mau memeluknya. Tapi..... baru beberapa detik saja, Mellody sudah melepas pelukannya kembali.

"Aaa... aku lupa kalau kak Zio belum mandiiiii"

°°°°°°

Mau dibawa kemana cerita kita??

Makasih yang udah mau baca :) makasih yang udah mau vote :*

MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang