Chapter 27

1K 71 1
                                    

Kini Arka tengah berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Ia tak hanya sendiri, tetapi juga ada Sasa, Tasya, dan Davin. Kemarin malam ia mendapat kabar bahwa kakak Mellody kecelakaan. Entah itu Gio atau Zio.

Langkah ke empatnya terhenti saat melihat seorang gadis tengah bersimpuh di lantai koridor rumah sakit dan dalam dekapan seorang laki laki yang sangat mereka kenali.

Itu Gio, dan gadis dipelukannya itu adalah Mellody. Itu berarti yang sedang di rawat di dalam adalah ... Zio.

Ada sesuatu yang bergemuruh hebat di dalam hati Arka. Oh, bukan. Ini bukan perasaan cemburu. Melainkan perasaan sakit saat melihat orang yang disayanginya kini sedang terluka. Keadaan Mellody benar benar kacau kali ini.

  "Mell, Kak" sapa Sasa dengan suara lirih. Gio mengangkat kepalanya dan mengedarkan pandangan kepada empat bersahabat itu. Senyum tipisnya terukir walau itu hanya ia tunjukan untuk formalitas saja. Sementara Mellody masih belum mau mengalihkan tubuhnya dari pelukan Gio.

  "Keadaan Kak Zio gimana?" Tanya Tasya memecah kecanggungan diantara mereka.

  "Kritis" jawab Gio seadanya. Dan sejak tadi Arka masih mengamati gadis yang berada di pelukan Gio. Ia benar benar merasakan sakit yang gadis itu rasakan. Jika saja ia tak ingat bahwa ia laki laki, mungkin sejak tadi ia sudah menangis.

  "Dek, gue jemput ayah dulu ke bandara. Lo tungguin Zio dulu ya" terang Gio lalu perlahan melepas pelukannya pada Mellody. Kini Arka bisa melihat wajah Mellody kembali. Hidungnya merah, matanya sembab, dan rambutnya sedikit acak acakan.

  "Gue titip adek gue ya" tutur Gio dan sontak mendapat anggukan kompak dari ke empatnya.

Gio segera melangkahkan kakinya keluar rumah sakit. Ia harus segera menjemput Ayahnya di bandara yang pulang dari luar negeri karena mendapat kabar bahwa Zio mengalami kecelakaan. Walau Ayahnya itu memang gila bekerja tapi ia tetap mengkhawatirkan anak anaknya.

  "Yang sabar ya Mell, kita yakin kalau Kak Zio akan baik baik aja" ucap Sasa setelah kepergian Gio dari koridor rumah sakit. Tasya dan Sasa kini sudah berada di samping Mellody untuk menenangkan sahabatnya itu.

  "Semoga" balas Mellody dengan suaranya yang parau. Ia menyenderkan kepalanya di bahu Tasya saat merasakan kepalanya yang semakin berat. Wajar saja karna semalaman ia habiskan untuk menangis dan tidak tidur.

  "Kamu belum sarapan? Kamu mau sarapan apa?" Tanya Davin melihat wajah Mellody yang pucat. Gadis itu hanya menggeleng.

  "Enggak, makasih" tolaknya secara halus. Walau jujur, saat melihat Davin ia masih teringat pada kejadian waktu itu. Tapi ia sudah berusaha memaafkannya.

Pikiranya kali ini benar benar tak bisa dikontrol. Yang ia pikirkan hanya Zio, yang sedang berbaring di dalam sebuah ruangan dengan kabel kabel aneh yang justru itu membantunya untuk tetap bertahan hidup.

Tak lama, seorang lelaki berjas putih keluar dari sebuah ruangan yang berbau khas obat. Lelaki itu melepaskan kaca mata tebal yang sejak tadi bertengger di hidungnya.

  "Bisa bicara dengan keluarga pasien?" Kata sang dokter. Sontak membuat Mellody bangkit dari duduknya. Ia menghapus air matanya secara kasar.

  "Saya, saya adiknya" sahut Mellody cepat. Dokter itu menghembuskan nafasnya perlahan.

  "Pasien masih dalam keadaan kritis, kita masih memantau keadaannya sampai dia sadar dan membaik" terang lelaki itu secara hati hati.

  "Tapi Kakak saya akan baik kan dok?" Tanya Mellody dengan suara parau.

  "Kita doakan saja, kalau begitu saya permisi" balas lelaki itu dan hanya mendapat anggukan lemah dari Mellody. Entah mengapa sejak kemarin ia menyalahkan dirinya sendiri pada kejadian ini. Ia merasa ini salahnya.

  "Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Umpat Mellody yang tanpa sadar memukul mukul kepalanya sendiri. Tentu saja membuat Arka memegang lengan gadis itu. Air mata Mellody sejak tadi belum berhenti keluar dari pelupuk mata idahnya.

  "Mell" panggil Arka agar gadis itu menghentikan tindakan memukul kepalanya sendiri.

  "Ini semua salah aku, kalau aku turutin semua kemauan Kak Zio mungkin semua gak akan kayak gini" air mata Mellody semakin deras keluar dari matanya. Yang refleks membuat Arka menariknya dalam pelukan. Ia juga bingung bagaimana bisa membuat orang yang disayangnya itu tenang.

  "Semua akan baik baik aja" ucap Arka sembari mengelus puncak kepala Mellody. Membiarkan gadis itu menumpahkan tangisnya dalam pelukan. Arka sadar saat ini dirinya tengah mendapat tatapan tajam dari seseorang. Siapa lagi jika bukan Davin. Tapi, ini bukan saatnya untuk saling memikirkan perasaan bukan?

Tidak boleh ada yang hanya mengandalkan ego masing masing.

  "Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Ini bukan salahmu, tapi ini semacam ... takdir?" Sambung Arka membuat keadaan gadis yang dipelukannya kini semakin membaik.

  "Kenapa harus ada takdir?" Tanya Mellody polos. Arka hanya mengangkat bahunya.

  "Mungkin biar kita percaya keajaiban" terangnya tanpa sadar dan berhasil membuat Mellody tersenyum tipis.

Keajaiban?

°°°
Besok sekolah?
Semangattt ;D

Vomment? :)

MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang