Part 32 | Kafe

119 8 1
                                    

Assalamualaikum, yeorobun annyeong kembali lagi nih sama aku 👋🏻😊

Jangan lupa vote juga komen sebelum membaca ya, sengkuh 💗😉

Happy reading!

****

Di salah satu sudut kafe, Zaid, Hafidzah, Dara, dan Reda duduk di dekat jendela, menyaksikan pemandangan kota yang sibuk. Meski ada ketenangan dari luar, di dalam hati mereka masih ada rasa yang mengganjal, kenangan, kesedihan, dan mungkin juga penyesalan yang tak terucapkan.

Keheningan menggantung di antara mereka, tidak ada satu kata pun yang terucap sejak mereka duduk. Zaid menatap keluar jendela, Hafidzah menunduk memilin bajunya, sementara Dara sibuk menenangkan Reda yang penasaran melihat pemandangan luar. Mereka semua tampak terjebak dalam pikiran masing-masing, seolah sedang menunggu siapa yang akan memecah keheningan lebih dulu.

Zaid akhirnya menarik napas panjang dan berkata dengan suara lirih, "Dara, aku minta maaf."

Dara terkejut mendengar itu. Alisnya berkerut, dan dia menoleh ke arah Zaid, terkejut oleh permintaan maaf yang tidak ia duga. Seharusnya dialah yang meminta maaf, bukan Zaid.

"Maaf? Untuk apa, Zaid?" tanya Dara, mencoba memahami.

"Maaf karena aku tidak bisa mengantarkan suratmu kepada Reval," ucap Zaid dengan nada penuh penyesalan, kepalanya tertunduk dalam.

Hafidzah, yang duduk di sebelah Zaid, dengan lembut menyentuh tangan suaminya, seolah ingin menyalurkan kekuatan dan dukungan. Ia tahu betapa berat rasa bersalah yang selama ini dipendam oleh Zaid.

Dara menatap Zaid, merasa simpati dan juga bersalah. "Zaid, tidak apa-apa. Itu mungkin memang sudah takdirnya. Jangan menyalahkan diri sendiri. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Lagipula, aku sudah ikhlas dengan kepergian Reval. Sekarang aku hanya fokus pada Reda, dia adalah bagian dari Reval yang selalu bersamaku," jawabnya.

Zaid mengangguk pelan, tapi masih tampak merasa berat. Matanya masih tertunduk, seolah menanggung beban yang lebih besar dari yang bisa diucapkan.

Di sisi lain, Reda, yang masih terlalu kecil untuk memahami percakapan serius orang dewasa di sekitarnya, menatap keluar jendela dengan mata penuh rasa ingin tahu. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya di luar sana. Dengan nada cadel, ia menarik-narik baju Dara dan berkata, "Nda, ngin tuh!" Jari kecilnya menunjuk ke arah toko mainan di seberang jalan.

Dara, yang masih tenggelam dalam percakapan, tersenyum kecil sambil menoleh ke arah anaknya. "Tunggu ya, Reda. Bunda belum selesai," jawabnya lembut, meskipun ia tahu Reda mungkin tidak akan puas dengan jawaban itu.

Zaid, yang mendengar permintaan Reda, memutuskan untuk membantu. "Sini, biar aku ajak dia ke toko mainan," tawar Zaid, berdiri dari kursinya.

Dara segera menggeleng canggung, merasa tidak enak. "Eh, nggak usah, Zaid. Nggak papa kok, nanti Reda juga lupa sendiri."

"Nggak apa-apa. Biar aku ajak dia sebentar," kata Zaid tersenyum tipis. Setelah mengatakan itu, Zaid dengan lembut mengambil Reda dari samping Dara, lalu menggandeng tangan kecilnya.

"Aku pergi dulu ya!" pamit Zaid kepada Hafidzah. Mengelus halus kepala Hafidzah, dan dibalas anggukan oleh Hafidzah.

Dara tersenyum canggung saat melihat Zaid menggendong Reda keluar kafe menuju toko mainan. Ketika pintu kafe menutup di belakang mereka, keheningan kembali mengisi ruang di antara Dara dan Hafidzah.

Dara kemudian menoleh ke arah Hafidzah dengan senyum kecil. "Maaf ya, Hafidzah, aku jadi ngerepotin."

Hafidzah tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Mbak. Malah senang bisa lihat Reda senang."

Dara menatap Hafidzah sejenak, memperhatikan sesuatu. Ada kehangatan yang terpancar dari wanita muda di depannya. "Eh, kalau aku boleh tanya, kamu lagi hamil ya, Hafidzah?"

Hafidzah sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. "Lho, mbak kok bisa tahu?" tanyanya sambil tersenyum, sedikit malu.

Dara tertawa kecil. "Aku pernah hamil, jadi aku bisa merasakannya. Aura ibu hamil itu memang berbeda."

Senyum Hafidzah semakin melebar. "Iya, mbak, aku memang lagi hamil.

"Udah berapa bulan?" tanya Dara tersenyum.

"Baru dua bulan."

Mereka berdua mulai berbincang tentang kehamilan, dan Dara, yang sudah mengalami proses itu, mulai bercerita tentang pengalamannya. "Masa hamil itu benar-benar luar biasa. Aku ingat waktu hamil Reda, banyak hal yang awalnya nggak aku pahami, tapi lama-kelamaan jadi belajar sendiri."

Dara menatap Hafidzah dengan tatapan penuh kenangan. "Kehamilan itu, meski berat, sangat membahagiakan. Ada saat-saat di mana kamu merasa lelah, mual, bahkan kadang emosi nggak stabil. Tapi setiap kali kamu merasakan gerakan bayi di dalam perut, itu seperti ada keajaiban kecil yang bikin semua perjuangan terasa sangat berarti."

Hafidzah mendengarkan dengan penuh perhatian. "Aku masih belum bisa bayangin gimana nanti kalau udah dekat waktu melahirkan."

Dara tersenyum hangat. "Melahirkan itu pengalaman yang nggak akan pernah bisa dilupakan. Rasanya seperti berada di antara dua dunia, antara kehidupan dan kematian. Tapi begitu bayi lahir, semua rasa sakit hilang begitu saja, digantikan dengan kebahagiaan yang nggak bisa dijelaskan."

Hafidzah menelan ludah, sedikit khawatir tapi juga penasaran. "Apa yang paling kamu inget ketika melahirkan, Mbak?"

Dara terdiam sejenak, mengenang. "Rasa takut, cemas, tapi juga kebahagiaan yang luar biasa saat mendengar tangisan pertama Reda. Di detik itu, semua perasaan negatif hilang, yang tersisa hanya cinta dan rasa syukur."

Hafidzah tersenyum, membayangkan bagaimana rasanya nanti ketika dia melahirkan. "Pasti itu momen berharga ya, Mbak."

Dara mengangguk sambil tersenyum. "Ya, setiap momen itu berharga, Hafidzah. Nikmati saja setiap detiknya."

****

Di sisi lain, Zaid membawa Reda ke toko mainan yang terletak di seberang kafe. Senyum di wajah Reda lebar, penuh kegembiraan begitu mereka memasuki toko. Anak kecil itu tampak begitu antusias, matanya berbinar-binar saat melihat deretan mainan yang berjajar di rak-rak.

"Om, Eda ngin bot tuh!" teriak Reda dengan semangat, sambil menunjuk ke arah robot-robot mainan yang ada di salah satu rak.

Zaid tersenyum melihat tingkah Reda yang polos dan ceria. Tanpa sadar, ia merasa nostalgia. Senyum Reda mengingatkannya pada Reval—senyum yang sama, penuh semangat dan kebahagiaan.

"Mau yang itu?" Zaid bertanya sambil menatap Reda dengan tatapan penuh kasih sayang.

Reda mengangguk antusias. "Ya, Om! Eda ngin bot gede!"

Zaid tertawa kecil dan mengacak-acak rambut Reda dengan gemas. "Baiklah, Om belikan buat Reda."

Setelah memilih mainan, Zaid menggandeng tangan kecil Reda sambil tersenyum. Batita itu tampak sangat senang, memegang kotak mainannya dengan bangga. Sambil berjalan keluar dari toko, Zaid menatap Reda dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasakan kebahagiaan karena melihat Reda yang begitu mirip dengan Reval, tapi di sisi lain, ada rasa kehilangan yang masih menyisakan luka.

"Reda, kamu tahu nggak, kamu mirip sekali sama ayahmu," bisik Zaid pelan, meski ia tahu anak itu belum bisa mengerti.

Reda hanya menatap Zaid dengan mata bulatnya yang polos, tidak menyadari kedalaman emosi yang ada di balik kata-kata itu.

Zaid menahan napas, mencoba menenangkan hatinya. Dengan perasaan campur aduk, Zaid menggendong Reda kembali ke kafe, di mana Dara dan Hafidzah sudah menunggu.

****

TBC

Gimana dengan part hari ini? Seru atau gimana? Semoga seru ya 😔

Sekian dulu dari saya
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh 🙏🏻👋🏻

Z A I D (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang