Assalamualaikum, yeorobun
Kembali lagi nih sama aku 👋🏻😊Nggak ada bosannya aku ngingetin kalian, jangan lupa vote dan komen sebelum membaca ya, sengkuh 💗😉
Happy reading!
****
Hafidzah berkedip-kedip saat cahaya terang dari lampu rumah sakit menyilaukan matanya. Perlahan, kesadarannya kembali setelah operasi lima jam yang lalu. Pikiran Hafidzah seketika dipenuhi kenangan saat kecelakaan yang ia alami bersama Zaid. Seolah kaset yang diputar ulang, ingatan itu terus menghantui. Refleks, Hafidzah meraba perutnya. Rasanya lebih ringan, tidak lagi buncit seperti sebelumnya. Dengan panik, ia tersadar bahwa sesuatu hilang.
"Anakku? Dimana anakku?" teriaknya keras, suaranya menggema di ruangan yang sepi. Hafidzah berusaha bangkit dari tempat tidur, tapi seketika rasa sakit yang hebat menjalar dari perutnya. Luka operasi yang baru saja dijahit membuatnya meringis kesakitan, tapi ia tidak menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi bahkan ketika operasi pun. Pikirannya hanya terfokus pada satu hal yaitu, anaknya.
Di brankar sebelah, Zaid yang tertidur lelap terbangun mendengar jeritan istrinya. Tanpa berpikir panjang, ia segera menghampiri Hafidzah. Wajah wanita itu tampak pucat, cemas, dan penuh kesedihan. Bahkan, tatapan matanya tampak kosong, seolah-olah terjebak dalam ketakutan yang tak berujung.
"Anakku... dimana anakku?" tangis Hafidzah pecah lagi, matanya terus menatap Zaid penuh pertanyaan dan harapan.
Zaid, yang hatinya ikut terluka melihat istrinya seperti ini, segera memeluk Hafidzah erat, mencoba menenangkannya. "Sstt... tenang, sayang. Anak kita baik-baik saja," bisiknya lembut di telinga Hafidzah.
Perlahan Hafidzah mulai tenang, meskipun air matanya masih mengalir. Suaranya mulai lirih saat ia kembali bertanya, "Dimana anak kita, Kak?"
Zaid menangkup kedua pipi Hafidzah, mengusap lembut dan menatapnya dalam-dalam. "Sayang, anak kita sudah lahir. Dia sekarang ada di inkubator di ruang NICU rumah sakit ini," ucap Zaid dengan suara yang menenangkan.
Hafidzah menatap Zaid dengan sisa air mata yang masih berada di pipinya. "Anak kita baik-baik saja?" tanyanya lirih, suaranya hampir tak terdengar di antara isakan kecil yang mulai pecah.
Zaid mengangguk lembut, sambil menangkup kedua pipi Hafidzah dan mengelusnya penuh kasih sayang. "Iya, anak kita baik-baik saja, dia sudah lahir. Anak kita perempuan, sayang. Dia cantik sekali, seperti kamu."
Tangannya yang lemah menyentuh perutnya yang kini kembali rata. "Aku sudah jadi seorang ibu?" Hafidzah bertanya pelan, hampir tidak percaya.
"Sebelum anak kita lahir kamu juga sudah menjadi ibu sayang." jawab Zaid sambil mengangguk lembut.
"Aku mau lihat dia, Kak. Aku mau lihat anak kita," pinta Hafidzah penuh harap.
"Kita akan lihat dia, sayang. Tapi sebentar ya, kita tunggu dokter dulu untuk memastikan kamu baik-baik saja," jawab Zaid dengan sabar. Hafidzah mengangguk meskipun rasa ingin bertemu anaknya begitu besar.
Tak lama kemudian, dokter masuk dan memeriksa kondisi Hafidzah. "Ibu Hafidzah, kondisinya sudah stabil. Kami hanya perlu memastikan luka bekas operasinya dirawat dengan baik. Anak Ibu masih dalam inkubator karena lahir prematur, namun sejauh ini kondisinya baik. Kami sarankan agar Ibu juga mulai belajar cara menyusui nanti," ujar dokter dengan nada ramah.
Mendengar penjelasan itu, Hafidzah merasa sedikit lega, meskipun ada rasa bersalah yang mulai menghantui hatinya.
Setelah pemeriksaan selesai, Zaid menemani Hafidzah ke ruang NICU. Mereka berhenti di depan kaca besar yang memisahkan mereka dari inkubator tempat bayi mereka dirawat. Hafidzah berdiri diam, menatap putri kecilnya yang terbaring di dalam sana, tubuh mungilnya terhubung dengan berbagai alat medis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Z A I D (ON GOING)
JugendliteraturSQUEL ARCELIO FOLLOW SEBELUM MEMBACA!!! HARGAI KARYA ORANG, MAKA DARI ITU VOTE DAN KOMEN! NO PLAGIAT, AKU YAKIN PASTI CERITA MU LEBIH MENARIK⚠️ **** Menikah? Di usia muda? Tak pernah menjadi bagian hidup Zaid. Karena jebakan musuhnya membuat semua o...