Assalamualaikum, yeorobun
Kembali lagi nih sama aku 👋🏻😊Jangan lupa vote serta komen juga sebelum membaca ya, sengkuh 😉
Happy reading!
****
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, tujuh bulan telah berlalu. Seiring dengan bertambahnya usia kehamilan Hafidzah, perubahan fisik semakin jelas terlihat. Perutnya kini semakin membesar, mengungkapkan kehidupan baru yang tumbuh di dalamnya. Memasuki usia kehamilan enam bulan, Hafidzah mulai menjalani sekolah dengan homeschooling. Keputusan ini diambil setelah dokter menyarankan agar Hafidzah lebih banyak beristirahat dan tidak terlalu banyak beraktivitas di luar rumah. Meski awalnya sempat ragu dan merasa tidak terbiasa dengan rutinitas baru, Hafidzah akhirnya mulai menikmati proses belajar dari rumah. Zaid sebagai suami ia selalu ada di sisinya untuk memberikan dukungan. Dia memastikan bahwa segala kebutuhan Hafidzah terpenuhi, dari makanan sehat hingga lingkungan yang nyaman untuk belajar.
Saat ini, hari libur sekolah. Zaid duduk di meja makan, menyuapkan sesuap nasi ke mulutnya. Wajahnya tampak tenang, tapi siapa pun yang melihatnya tahu dia sedang menghadapi cobaan. Di sekeliling kepalanya, bertebaran jepitan rambut kecil warna-warni yang ditempelkan oleh Hafidzah. Hafidzah duduk di sampingnya, terkikik senang sambil memeriksa karya seninya di rambut suaminya.
"Hehe, lucu banget!" seru Hafidzah riang, merasa puas dengan hasil tangannya. "Aku pengen nambah lagi ah!"
Zaid, yang biasanya tampil rapi dan tegas, hanya bisa pasrah. Dia menelan makanannya sambil mendesah pelan, lalu menatap istrinya dengan pandangan lelah. "Sayang, sudah belum?" tanyanya memelas, wajahnya menunjukkan ekspresi campuran antara lelah, geli, dan, tentu saja, cinta.
Hafidzah tertawa kecil. "Belum, masih kurang! Jepitnya harus lebih banyak, baru utun di dalam perut senang lihat Kak Zaid jadi lucu."
Zaid menggeleng pelan, namun tetap membiarkan Hafidzah menambahkan jepitan rambut ke kepalanya. Sambil terus menyuapkan makanannya, ia hanya bisa pasrah. Baginya, ini hanyalah bagian dari perjalanan menjadi suami seorang wanita yang sedang hamil tujuh bulan, apalagi dengan ngidam Hafidzah yang selalu tak terduga.
Setelah beberapa menit berlalu, Zaid mencoba mencari jalan keluar dari situasi tersebut. "Kita jalan-jalan aja, gimana?" usulnya tiba-tiba.
Hafidzah yang sedang sibuk mengatur jepitan rambut berhenti sejenak, menoleh ke arahnya dengan mata berbinar. "Jalan-jalan?" tanyanya, suaranya penuh harapan.
Zaid mengangguk. "Iya, jalan-jalan. Mungkin ke mall? Kamu kan akhir-akhir ini suka lihat-lihat kosmetik, beli lipstik, liptint, lipgloss."
Wajah Hafidzah langsung cerah mendengar itu. "Iya! Iza pengen beli lipstik, liptint, lipgloss yang banyak!" ujarnya sambil menggembungkan pipinya, membuat Zaid tak bisa menahan senyumnya. Istrinya memang selalu tampak menggemaskan, apalagi saat sedang bersemangat.
"Oke, ayo kita jalan-jalan, tapi copotin dulu ini jepitan rambut di rambut Kakak!" Zaid mencoba menegosiasikan kebebasannya dari hiasan-hiasan warna-warni di kepalanya.
Hafidzah tertawa kecil, lalu segera menurunkan jepitan satu per satu dengan cermat. "Baiklah, Kak Zaid. Di copot jadi nggak lucu lagi ya," ujarnya dengan nada bercanda.
Namun, sebelum jepitan terakhir dilepas, Zaid tiba-tiba melingkarkan lengannya di pinggang Hafidzah, menariknya lebih dekat. Hafidzah sedikit terkejut, tapi kemudian tertawa kecil saat Zaid meletakkan wajahnya di perutnya yang sudah mulai besar.
"Selamat pagi, utun," bisik Zaid pelan ke perut Hafidzah. "Sehat-sehat ya di dalam sana, ya. Ayah dan Bunda sayang banget sama kamu." Ia mengecup perut Hafidzah lembut, lalu menyandarkan kepalanya, menikmati momen kecil itu.
Hafidzah mengelus rambut Zaid dengan lembut, menikmati perhatian suaminya. “Iya, utun. Ayah memang manja banget, kan?” ucapnya menggoda.
Zaid hanya menggerutu pelan sambil mendusel-duselkan wajahnya ke perut Hafidzah. "Ih, geli Kak! Ayo ganti baju, kita harus ke mall cepat!" protes Hafidzah sambil tertawa kecil, mencoba melepaskan diri.
Setelah selesai sarapan dan berganti pakaian, Zaid dan Hafidzah pun berangkat ke mall. Suasana di mobil terasa ringan, penuh canda dan tawa. Sesekali, Hafidzah memainkan radio, memutar lagu favoritnya, sementara Zaid fokus menyetir.
Sampai di mall, mereka langsung menuju toko kosmetik. Begitu memasuki toko, Hafidzah dengan antusias mulai memilih-milih lipstik, liptint, dan lipgloss yang berbagai warna. Zaid hanya bisa mengikuti sambil tersenyum melihat antusiasme istrinya.
"Kak Zaid, sini tangan Kakak!" seru Hafidzah tiba-tiba, memanggil Zaid yang sedang berdiri tak jauh darinya.
Zaid menatapnya dengan curiga. "Nggak. Mau apa kamu?" tanyanya, merasa ada sesuatu yang akan terjadi.
"Ish, sini aja!" Hafidzah menarik tangan Zaid tanpa menunggu jawabannya. Ia langsung mengoleskan beberapa warna lipstik ke punggung tangan Zaid, mencoba beberapa warna yang sedang dipertimbangkannya.
Zaid menatap tangannya yang kini penuh dengan berbagai warna lipstik. "Tinggal pilih aja dahal, kenapa juga tanganku yang diolesin beginian?" gumamnya, merasa lucu dengan situasinya.
Hafidzah tertawa kecil. "Biar kelihatan warna aslinya di kulit. Kakak kan kulitnya mirip aku," jawab Hafidzah enteng, sambil tetap sibuk mencari-cari lipstik yang sempurna.
"Udah atau belum?" tanya Zaid dengan suara sabar, meski dalam hati ia mulai merasa tangannya perlu sedikit udara bebas.
"Belum!" sahut Hafidzah sambil tertawa kecil, masih asyik mencoba produk-produk kosmetik yang lain. Zaid hanya bisa menghela napas dan melirik jam di pergelangan tangannya.
Hafidzah akhirnya menemukan lipstik yang sempurna dan memutuskan untuk membelinya. Setelah selesai di toko kosmetik, mereka berjalan santai, menelusuri lorong-lorong mall. Zaid masih menahan senyum melihat tangan kanannya yang masih penuh dengan coretan lipstik.
"Kak, tangan Kakak tuh kayak lukisan abstrak sekarang," ledek Hafidzah sambil tertawa.
"Nih liat, gara-gara kamu, tangan Kakak jadi penuh warna," jawab Zaid dengan nada pura-pura kesal, meski senyum masih tersungging di bibirnya.
"Biarin, yang penting aku senang," sahut Hafidzah sambil menggandeng tangan suaminya erat.
****
Di tempat lain yang jauh berbeda dari suasana mall yang ramai, di sebuah ruangan kecil yang gelap dan sunyi, dua pria berdiri berhadap-hadapan. Satu mengenakan hoodie hitam yang menutupi sebagian besar wajahnya, sementara yang lain mengenakan jaket kulit hitam, dengan senyum dingin menghiasi wajahnya.
"Ada yang harus lo kerjain," ujar pria berjaket hitam dengan nada dingin. Cahaya lampu redup di sudut ruangan memantulkan bayangannya di dinding.
Pria bertudung hoodie menyeringai. "Asal bayarannya tinggi, gue lakuin apa aja," jawabnya tanpa ragu, suaranya berat dan serak.
Jaket hitam menyeringai lebih lebar. "Jangan khawatir. Bayarannya nggak akan bikin lo kecewa."
"Jadi, apa yang harus gue lakuin?" tanyanya, kali ini suaranya lebih tajam, penuh minat. "Membunuh?"
"Kali ini targetnya wanita," jawab pria berjaket hitam. "Wanita yang sedang hamil." Senyumnya semakin dingin, penuh kebencian yang tersembunyi.
"Gila? Dua sekaligus? Sepertinya seru," balas pria bertudung hoodie, tertawa sinis.
"Baiklah, perintah lo akan segera gue laksanain. Tunggu aja kabar baiknya. Gue nggak akan mengecewain lo," lanjut pria bertudung hoodie itu, menepuk pundak pria berjaket hitam.
"Bagus. Gue tunggu kabar bahagia ini," jawab pria berjaket hitam sambil tertawa jahat, pandangannya penuh dendam yang kelam.
****
TBC
Gimana seru nggak?
Kira-kira apa yang akan terjadi ya? 😀
Sampai sini saja ya, sekian terima kasih Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh 👋🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
Z A I D (ON GOING)
Fiksi RemajaSQUEL ARCELIO FOLLOW SEBELUM MEMBACA!!! HARGAI KARYA ORANG, MAKA DARI ITU VOTE DAN KOMEN! NO PLAGIAT, AKU YAKIN PASTI CERITA MU LEBIH MENARIK⚠️ **** Menikah? Di usia muda? Tak pernah menjadi bagian hidup Zaid. Karena jebakan musuhnya membuat semua o...