Part 31 | Surat

155 7 2
                                    

Assalamualaikum, yeorobun kembali lagi nih aku 👋🏻☺️

Jangan lupa vote komen sebelum membaca ya, sengkuh-sengkuh 💗☺️

Happy reading!

****

Mata itu menatap penuh dalam dua kertas surat yang dipegangnya. Mengelus perlahan kemudian membukanya.

Hafidzah berdiri dibelakangnya mengelus punggung lelaki yang tak lain adalah Zaid. Pagi setelah sarapan Zaid menunjukkan sebuah surat, entah surat apa. Setelah menunjukkan Hafidzah mengerti bahwa surat itu dari Reval-sahabat Zaid yang telah tiada.

"Kok ada dua?" gumamnya tak sengaja membuat Zaid mendengarnya.

"Satunya dari Dara," jawabnya mendapat anggukan mengerti dari Hafidzah.

"Sebelum Dara pergi dia nitipin ini ke aku. Mau ku serahkan pada Reval tapi Reval nolak ketemu aku."

"Dan di saat aku kerumahnya buat anterin nih surat, terdengar pertengkaran Reval dengan kedua orangtuanya. Mau nggak mau gue ikut denger apa yang mereka tengkarin."

Hafidzah mengambil surat yang di sodorkan Zaid kepadanya. Hafidzah membaca satu persatu kata yang di tulis dalam surat itu.

To. Reval
From. Dara

Reval sejujurnya gue ingin merawat anak ini bersama Lo. Maaf kalau kata-kata kemarin melukai hati lo, gue bodoh sekali minta tanggung jawab Zaid yang ga sama sekali mencintai gue. Jelas-jelas ada lo, ayah dari bayi yang gue kandung. Gue tau gue telat, gue juga egois mau misahin anak ini dari lo. Jujur gue butuh lo, tapi gue udah telat. Gue ngambil keputusan yang sungguh sangat merugikan gue. Reval, nyokab gue udah tau gue hamil dan gue akan di pindahin ke Jerman. Reval maaf, gue pergi dulu. Semoga lo bahagia selalu, gue akan jaga anak kita baik-baik. Bye, I will always remember you. See you.

Hafidzah menaruh kembali surat itu di atas nakas setelah membacanya. Entah mungkin hormon kehamilan atau menyedihkan membuat mata Hafidzah berkaca-kaca membacanya.

"Aku mengerti, Kak," bisik Hafidzah dengan suara pelan namun penuh pengertian. "Semua ini bukan salah Kakak sepenuhnya. Kakak nggak pernah tahu apa yang bakal terjadi."

Zaid menghela napas panjang, seolah ingin mengeluarkan beban berat yang menggantung di dadanya. "Aku cuma ingin segalanya berbeda. Kadang aku berpikir, kalau saja aku bisa memutar waktu, aku akan melakukan segalanya untuk memastikan Reval menerima surat ini."

"Kita semua punya penyesalan, Kak. Tapi hidup harus terus berjalan. Kita nggak bisa terus-terusan hidup dalam bayangan masa lalu."

Zaid terdiam, menatap Hafidzah dengan penuh perasaan. Dalam diam, ia merasakan kekuatan dan kelembutan yang terpancar dari wanita di hadapannya. Dia merasa bersyukur, meskipun dengan semua kesedihan dan rasa bersalah yang membebani, dia tidak sendirian.

"Tapi sekarang, Kakak punya tanggung jawab lain, Ada hidup baru yang perlu Kakak jaga dan lindungi."Hafidzah sambil mengusap lembut pundak Zaid.

Mendengar kata-kata itu, Zaid merasa hatinya sedikit lebih ringan. Ia tahu Hafidzah benar. Hidupnya masih berlanjut, dan ada banyak hal yang perlu ia perjuangkan. Sambil menarik Hafidzah dalam pelukan, ia merasakan kekuatan untuk melangkah maju, meski jalan di depannya masih belum jelas.

****

Di suatu pagi yang tenang, dengan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma bunga, Zaid dan Hafidzah berdiri di depan makam Reval. Mereka membawa bunga-bunga segar, simbol harapan baru yang tumbuh di hati mereka. Zaid memejamkan mata, mencoba meredam gelombang emosi yang melanda hatinya.

Z A I D (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang