Thirty Three

25 7 0
                                    

𓆝 𓆟 𓆞
BAB 33
𓆝 𓆟 𓆞

Olivia seharusnya sudah lelah menangis tapi air matanya terus turun mengalir membasahi pipi dan kadang jatuh ke bajunya. Kakinya sedari tadi nyeri, kain yang menutupnya sudah berubah merah penuh dengan darah.

Dia pikir Liam setidaknya akan membawanya ke rumah sakit tapi mobil mereka bahkan sudah melewati dua rumah sakit. Semakin jauh sepertinya Olivia tahu mau kemana ia pergi.

Liam benar-benar membawanya pulang ke rumah. Olivia menggigit bajunya hingga basah. Isakannya terus terdengar, jemarinya tidak berhenti gemetar.

Olivia mengigit jari telunjuknya, menggigiti kukuya tanpa sadar hingga habis.

Mobil mereka berhenti di depan rumah. Olivia kembali takut terlebih ketika Liam membanting pintu mobilnya. Pintunya dibuka, Liam menunduk untuk melihatnya, Olivia sama sekali tidak berani melirik. Dia mengalunkan tangannya di leher pria itu agar tidak terjatuh.

Liam menaruhnya duduk di sofa ruang tengah. Rasanya begitu sakit hingga ia tidak mampu menggerakkan kaki kanannya sama sekali sampai jari kakinya.

Liam menghilang entah kemana, Olivia menjatuhkan wajahnya ke bantal sofa dan baru melirik ketika Liam kembali dengan banyak barang di tangannya termasuk sebuah lampu meja portabel.

Dia tanpa basa basi apapun membuka kain yang membungkus lukanya, Olivia dengan ngilu melihatnya, sehabis ini dia harus menanyakan jati dirinya sebagai seorang dokter.

Matanya kembali tertutup bahkan ketika Liam baru memakai sarung tangan steril dan ia menutup telinganya ketika merasakan lukanya mulai dibersihkan.

Olivia kembali mengintip ketika merasakan sakitnya tidak kunjung berkurang.

"Ma-na obat bius-nya?" tanya Olivia sesenggukan. Liam hanya diam.

Olivia mencob bertanya lagi untuk memastikan. "Kamu belum kasih kan?"

Namun Liam hanya diam, entah sejak kapan ia menyimpan peralatan operasi di rumah. Olivia menjerti histeris ketika Liam mulai mencoba mengambil pelurunya.

"Berhenti! Cukup, jangan lakukan itu, tolong!"

Satu kakinya yang tidak terluka sudah bergerak bebas sedari tadi menendang-nendang pada punggung sofa yang empuk.

"Diam. Lukanya bisa makin parah kalau kau bergerak."

Olivia menggeleng, "Liam tolong, jangan," mintanya memelas. Olivia sudah tidak tahu harus bagaimana lagi kalau semisal Liam tidak mendengarkan permohonannya kali ini.

Liam mengadahkan kepalanya ke atas sebelum menengok padanya. Mata Olivia sudah sangat sembab, hidungnya merah, rambutnya berantakkan dan bibirnya gemetar.

"Sakithh."

"Aku akan mengeluarkannya dengan cepat."

"Jangan!"

Lolongan teriakannya memenuhi satu rumah. Olivia tidak mengerti lagi, dia terus menjerit histeris sampai beberapa menit ke depan. Napasnya mulai terasa sesak. Olivia bantal sambil terus mengerang kesakitan.

Dirinya mulai berhenti menangis ketika jahitanhya sudah selesai dan kini lukanya sudah mulai diperban. Rasa sakitnya perlahan-lahan berubah menjadi rasa benci.

Rasanya masih ngilu setiap detiknya seolah tiap dagingnya sedang ditusuk ribuan jarum kecil bersamaan berkali-kali.

Liam membereskan peralatannya, ia pergi dan kembali untuk menggendong Olivia ke atas. Olivia tidak yakin dia bisa tidur dengan rasa sakit ini. Dia memperhatikan kakinya sudah tidak kelihatan mengerikan.

Spicy PiscesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang