26. Destroyed

2.8K 405 306
                                    


Isak tangis terdengar dari dekat salah satu pemakaman, suara lirih itu terus berbicara seolah meluapkan semua yang ia rasakan saat ini.

"Nay, aku harus apa?" Tangisnya meraung memeluk gundukan tanah didepannya, tangannya senantiasa mengusap nisan yang bertulis nama kekasihnya.

"Kanaya, maafin aku."

Antara percaya dan tidak percaya, ucapan Rion tadi menjadi Boomerang. Ia tidak ingin percaya, tetapi kedua orang tuanya tidak menyangkal. Ingin mempercayai pun ia sangat membenci hal itu, pria itu yang sudah membuat Kanaya pergi. Entah apa yang dilakukan olehnya sampai sang kekasih pergi, dan ia tau setelah jasad sang kekasih sudah dikubur.

"Kanaya, Om Rion bukan Papa aku, kan. Om Rion Papa kamu?!" Seakan seseorang akan menjawab perkataannya, Ia terus memberikan banyak pertanyaan.

"Nay, aku kangen kamu. Kembali Nay."

Dunianya seperti hancur dalam sekali jentikan, semua sudah terungkap, ia tau alasan Papi dan Maminya memperlakukan Jeano seperti itu, padahal kedua orang tuanya sangat sayang dengan Jeano.

Papi yang selalu ia andalkan, yang selalu ia banggakan, ternyata bukan Papi kandungnya. Apa semesta belum puas menghukumnya, setelah kepergian sang kekasih, dan banyaknya rahasia yang terungkap.

Langit yang sudah berganti dengan warna gelap itu tak membuat Mahen bangkit dari duduknya, seakan tidak ingin pergi, ia terus memeluk gundukan tanah seraya menangis.

"Nay."

Begitu banyak memori indah dengan keluarganya, mereka tidak pernah membedakannya dengan Jeano yang notabenenya anak kandung sang Papi. Saat kedua orang tuanya memperlakukan Jeano dengan buruk pun ia merasa Jeano bukan anak kandung kedua orang tuanya, ternyata ia salah, ia yang bukan anak kandung sang Papi.

Tawanya miris, hidupnya terlalu indah sampai ia tidak pernah berpikir kalau dirinya anak Mami dengan orang lain. Ia sangat menyayangi keluarganya, terlebih Jeano yang sedari kecil sangat lengket padanya.

"Ano, adeknya Abang. Tolong, setelah ini jangan benci Abang, jangan tinggalin Abang."

Napasnya tercekat, dadanya memburu, seolah pasokan udara yang semakin menipis. Dada kirinya berdenyut, terasa sesak.

"Abang sayang Ano," tangis Mahen pecah, ia meraung meluapkan emosional yang sedari tadi ia tahan.

🏘️🏘️

Jidar sudah sampai disalah satu taman kota, sesuai dengan lokasi yang dikirim Arutala.

Langkahnya berlari memasuki taman, guna mencari Arutala. Disalah satu bangku taman, dengan air mancur didepannya. Terlihat seseorang duduk tanpa melakukan apapun, hanya menatap air yang mancur didepannya.

"Ada apa?" Tanyanya saat ia sampai dibelakangnya.

"Kak Jidar," senyum Arutala mengembang, ternyata Jidar memang menemuinya.

"Gue enggak ada waktu banyak, ada apa?" Tanya Jidar seolah tidak ingin berlama-lama.

Arutala beranjak berdiri, langkahnya menghampiri Jidar, maniknya menatap manik Jidar yang menatapnya tajam.

Matanya berair, liquid bening siap luruh.

"Maafin Lala," ucap Arutala dengan bibir bergetar.

"Iya," jawab singkat Jidar.

Saat Jidar ingin pergi, Arutala menahan tangan pemuda itu.

BUILDING [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang