the trauma is starting to disappear

11 7 0
                                    

Pagi hari

Repan sedang menyiapkan sarapan untuk adik-adiknya, walaupun dia di antara mereka tidak bersekolah hari ini. Dia di bantu oleh Rifansyah berkutik di dapur.

Sedangkan Awarul mengurus Naira yang sedang sakit, seperti memberinya obat dan memapah ke kamar mandi. Hapipah sedang memanaskan mobil di garasi sedangkan Iskandar sibuk bermain game di handphonenya.

"Sarapan sudah siap!!!" Teriak Rifansyah dari meja makan yang sudah jelas terdengar ke seluruh penjuru rumah.

Sontak para saudara itu menghentikan aktivitasnya dan menuju ke arah meja makan. Kemudian duduk manis di kursi masing-masing yang kini terdapat tiga kursi kosong.

"Iskandar, pintu kamar Nicholas udah di buka?" Tanya Hapipah pada Iskandar, walaupun Iskandar enggan menatapnya.

"Dia masih gak mau bukain pintu, terpaksa gue harus numpang ke kamar Naira, sambil jagain dia" jawab Iskandar dengan malas. Dengan berat hati, Hapipah bangkit dari kursinya.

"Mau ke mana eteh/dek?" Tanya Awarul dan Repan hampir di waktu yang bersamaan.

"Ke kamar Nicholas bentar, kalian makan saja. Oh ya Arul, jatah makan eteh masukin ke kotak makan ya? Eteh gak sarapan kayaknya" Hapipah menjawab, sedangkan Awarul hanya mengangguk.

Hapipah berjalan ke arah kamar Nicholas tak jauh dari meja makan, hanya di jauhkan oleh kamar Repan dan tangga. Kini sang empu berdiri di depan pintu kamar adiknya dengan ukiran (N&I) di badan pintunya.

Hapipah POV

Aku berdiri tepat di depan pintu kamar Anak ke-5, Nicholas. Aku meraba-raba saku celanaku, untuk mengambil kunci cadangan di setiap kamar. Dan akhirnya kutemukan kunci yang berlogo (N&I).

Ku buka Perlahan pintu itu, kemudian aku masuk. Mataku beredar ke seluruh penjuru kamar, gelap. Sangat gelap. Hanya itu yang aku lihat, ku tutup pintu lalu menguncinya dari dalam.

Aku berjalan ke arah jendela yang tertutup, tapi langkahku terhenti saat satu timpukan guling terlempar ke arahku. Ku lihat samar-samar siluet seseorang di kasur, ku yakin itu Nicholas.

Tanganku meraba, dan menarik gorden jendela agar terbuka. Kamar itu telah terang karna pencahayaan dari luar. Aku menatap wajah seseorang di atas kasur yang sedang menatapku horor. Ku lihat trauma di dari sorot matanya.

Aku tentu saja mendekat secara perlahan, namun aku melihat tangan Nicholas sedang memegang cutter. Aku tidak tau apa yang akan dia lakukan? Aku menghentikan langkahku.

"Nicholas..." Panggilku pelan, dia masih terlihat takut dan menodongkan cutter itu ke depan. Sepertinya dia inggin mengancam ku agar tidak mendekat.

Walau begitu, aku terus berjalan mendekat. Saat sudah beberapa inci di depannya, aku mengambil cutter dari tangannya. Tetapi dia sepertinya sangat takut dan memiliki trauma yang besar, dia berteriak yang membuatku inggin sekali menangis.

"Pergi!!! Hiks...pergi!!! Jangan dekat-dekat!!! Nichol takut!!! Hiks...Nichol nggak nakal lagi...jangan dekat-dekat...hiks...Nichol takut!!!..." Jeritan dan teriakan Nicholas menggema di dalam kamar.

Aku duduk perlahan di atas kasur, di sampingnya. Dia masih mencoba menjauh, dan aku menghela nafas.

"Nichol, ini eteh. Kemari lah, eteh nggak jahatin kamu kok..." Kataku mencoba berbicara selembut mungkin agar dia tak berteriak lagi. Dia melihatku dengan mata sedikit menunjukan harapan. Saat aku mendekat, dia sudah tidak setakut saat aku pertama datang.

Perlahan aku meraih tangannya, kemudian menariknya ke dalam sebuah pelukan. Dia tidak memberontak, dia seperti anak kecil yang di berikan permen oleh ibunya.

"Nichol...Nichol kenapa? Kok takut sama eteh?" Tanyaku hati-hati, tidak inggin membuatnya berteriak, atau bahkan lebih buruk.

Dengan suara serak, dia berbicara. Dan mulai mengisap air mata yang menjadi sungai kecil di pipinya.

"Nicholas takut...hiks...Nichol takut, eteh jahatin Nichol...hiks...jangan jahatin Nichol..." Suaranya begitu lirih dan penuh dengan ketakutan, aku memakluminya. Kuharap orang yang membuat adikku seperti ini, akan mendapat pelajaran yang setimpal.

"Ssh..jangan takut ya? Eteh nggak jahatin Nicholas kok. Eteh bakal jagain Nicholas sebaik mungkin, maaf ya eteh ceroboh, seharusnya bisa jagain kamu lebih baik. Maaf ya Nicholas..." Kataku yang kemudian mendapat anggukan kecil dari Nicholas, kini dia sudah tidak takut padaku malahan sekarang dia sangat bergantung. Karna dia masih takut untuk mempercayai siapapun.

POV end

Di sekolah

Kini lima saudara itu telah sampai ke sekolah. Mereka penasaran, kenapa bagian belakang sekolah sangat ramai? Tanpa perhitungan, mereka semua serempak pergi ke halaman belakang.

"Ih, siapa ya kira-kira yang di bakar? Gila banget ngelakuinnya di sekolah."

"Tapi bisa jadi kan, dia di jebak terus di bunuh?"

"Iya ya? Eh, kayaknya itu kacamata Andrian nggak sih?"

Salah satu murid memberikan pengamatan yang luas, dia melihat kacamata patah yang menjadi barang bukti beserta dengan beberapa alat-alat tajam dan tali.

Rumor pembunuhan di sekolah sudah beredar ke penjuru sekolah, banyak yang mengira bahwa seseorang yang di bakar itu adalah Andrian. Ada juga yang menyimpulkan itu murid dari sekolah lain.

Kini polisi memeriksa cctv yang terpasang di belakang sekolah, gelap. Itu yang terlihat. Terlihat dua orang anak membakar sesuatu di bahan pohon. Para polisipun mulai menyelidiki lebih lanjut. Mereka menemukan pisau, dan kapak.

Sementara itu, lima saudara masih berdiri di depan polici line. Melihat para petugas medis yang sedang mengangkat jenazah anak malang itu. Wajahnya sudah tak berbentuk. Hanya gosong.

Setelah 3 jam polisi menyelidiki kapak dan pisau tersebut. Dan polisi menyimpulkan, bahwa sidik jari yang tertinggal kapan adalah milik Rifansyah. Sedangkan, polisi belum pasti. Siapa pemilik sidik jari di pisau?

Entah Rifansyah dan Iskandar.
Rifansyah dan Repan.
Rifansyah dan Hapipah.
Dan Rifansyah dengan Awarul.

Tak berselang lama, terdengar suara panggilan untuk para siswa duduk di lapangan.

"Para siswa SMPN Mega pelita yang saya sayangi, seperti yang kita ketahui, ada kejadian tak terduga yang terjadi di belakang sekolah kita. Sepertinya, pembunuhan berantai telah terjadi kemarin. Di sini anggota polisi sudah mencari tau, dan sudah di simpulkan pelakunya adalah anak dari pemilik saham."

Setelah mendengar kata 'anak pemilik saham' Repan, Hapipah dan awarul. Membelalakkan matanya. Pemilik saham? Berarti itu termasuk mereka, apa maksudnya kepala sekolah menuduh mereka? Apakah ada bukti tentang itu?

Sementara itu, Iskandar dan Rifansyah saling memandang lalu menyeringai lebar.

"Haruskah kita mengaku Rif? Agar mereka tidak bisa berkata-kata dan menutup mulut?"

"Kurasa" kata Rifansyah sembari mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Kami pelakunya!!!" Sontak seluruh pelajar, semua kelas. Menatap kaget pada kedua anak pemilik saham yang tiba-tiba berdiri.

Selesai yeyyy...
Oke langsung on the points jangan lupa vote dan follow serta tinggalkan jejak berupa komen oke jangan jadi siders 😤...

Author mengundurkan diri....

RUMAH TANPA RAMAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang