apartemen saksi bisu

18 6 0
                                    

"Lo mau ajak Gue kemana sih, Rif? Ini kan apartment tua, tempat si sialan itu bunuh bunda! Kenapa, Lo bawa Gue kesini!?" Tukas Iskandar berteriak, suaranya menggema di lantai-1 apartemen tersebut.

Apartemen terbengkalai itu, dahulu adalah saksi bisu dari semua kejadian yang menimpa Hapipah. Temboknya sebagian runtuh karena waktu dan cuaca, ada beberapa bagian yang sudah di tutupi oleh semak-semak dan tanaman liar, jangan lupakan pohon beringin besar yang ada di depan apartemen itu. Konon, menurut rumor yang beredar, ada kasus jual-beli obat terlarang pada apartemen berlantai-10 tersebut.

Meskipun sangat kotor, Rifansyah tetap melanjutkan. Dia tidak mempermasalahkan itu, karena tujuannya adalah mencari CCTV. Dia yakin pernah melihat CCTV di TKP.

"Kak, temani aku! Kau jadi kakak, jahat banget anjir!" Bujukan Rifansyah sambil menarik-narik tangan kekar Iskandar, terlihat wajah Iskandar yang cemberut.

"Kak! Aku udah sering ikutin rencana gila mu, ya! Kali ini temani aku!!! Sebentar saja ya, plisss..." Rifansyah menatap Iskandar dengan puppy eyes  nya. Akhirnya Iskandar menyetujuinya dengan mengangguk tak rela.

Tap...

Tap...

Tap..

Derap sepatu terdengar menggema di dalam apartemen itu, dinaikannya satu-persatu anak tangga menuju lantai-2. Terlihat beberapa lorong dan agak sedikit sembab di beberapa titik.

"Lo. Cari apa sih, jir!? Gue capek!" Iskandar mengeluh dengan mata beredar, melihat Rifansyah yang terus berkeliling lantai itu. Mencari sesuatu.

"Kalau capek, ya udah. Duduk di situ aja. Aku mau naik ke lantai-3 dulu, jangan tinggalin aku!" Jari telunjuk Rifansyah menunjuk ke arah sudut ruangan yang terdapat puing cukup besar, dan langsung melenggang naik.

Iskandar menurut. Kakinya mulai berjalan mendekati puing yang di tunjuk Rifansyah, kemudian duduk dengan posisi kaki kanan diatas kaki kiri lalu mengeluarkan benda pipih dari celana sekolahnya untuk memainkan salah satu dari banyaknya dunia fana.

Di sisi Rifansyah. Kini sang empu tak menyia-nyiakan kesempatan, terlihat lantai-3 yang sangat berbeda dari lantai-1 dan lantai-2. Tembok yang penuh lumut dan tanaman liar,sebagian ruangan sudah tak berbentuk dan hanya menyisakan beberapa saja. Di tambah oleh bau amis yang entah berasal dari mana.

"Mungkin bangkai tikus," gumam Rifansyah sambil sesekali terbatuk. Kedua kakinya menyusuri lantai yang tak terlalu luas itu, mencari saksi atas kejadian itu. CCTV!.

Sekitar-5 menit Rifansyah berkeliling, akhirnya dia menemukan apa yang dia cari. Benda pemantau itu masih tertempel kokoh di salah satu sudut yang sangat strategis

Rifansyah melompat-lompat untuk meraih CCTV itu. Namun karena tubuhnya yang agak pendek, alhasil dia dapat meraih dan memutuskan meminta bantuan Iskandar.

"Kak! Bantu aku!! Ayo sebentar saja!! Habis itu kita langsung pulang!!" Teriak Rifansyah dari tangga, menghadap ke arah Iskandar.

Iskandar sangat kesal dengan saudaranya ini, dengan langkah kesal Iskandar mengikuti sang empu yang kembali naik, langkahnya terlalu lambat daripada Rifansyah yang buru-buru.

Setibanya di atas, Dirinya di perlihatkan Rifansyah yang sedang menunjuk sebuah CCTV. Awalnya Iskandar menolak, tapi tetap menggambilnya. Aneh kan?

"Nah. mangkanya tumbuh tuh ke atas, bukan ke samping! Dasar pendek ! Ledek iskandar. Namun, Rifansyah tak memperdulikan ucapan Iskandar. Dia lebih fokus kepada CCTV di tangannya.

"Akan ku tebus, kesalahanku padamu eteh! Walaupun aku tidak bisa berterus terang padamu. Tapi semoga dengan cara ini. Kau kembali di percaya oleh ayah"
__________________
"Kak Nichol? Kakak melamun lagi? Kenapa kak?" Lamunan Nicholas sontak buyar karena Naira menepuk pundaknya.

"O-oh itu...kak Nichol kangen eteh..." Tutur sang empu dengan nada yang sangat lirih.

"Kak Nichol. Kakak nggak boleh sedih, nanti Eteh ikutan sedih. Kalau kak Nichol senyum, eteh juga ikutan senyum!"

Akhirnya, Nicholas Menato Naira dengan tatapan berharap.

"Berarti, kalau kak Nichol senyum. Eteh bisa balik lagi? Kalau gitu, kakak mau senyum terus supaya Eteh balik lagi! Hehe..."

Melihat senyum palsu Nicholas, Naira tersenyum getir. Dia memang terlihat polos dan tak tahu apa-apa. Tetapi. Jika menyangkut perasaan keluarganya, dia paling mengerti.

"Semoga saja ya kak, harapan kita terkabul. Naira juga nggak mau eteh pergi."
__________________
"Kamu. Kalau kerja, yang bener!! Lihat! pecah semua kan, telurnya!? Sekarang, pergi kamu dari sini!!!" Bentak laki-laki tua pemilik toko eceran di persimpangan jalan.

"Ma-maaf Pak, s-saya bis–"

"Pergi kamu!!! Buat rugi saja!" Tukas laki-laki tua tersebut, memotong ucapan Hapipah.

Akhirnya, Hapipah melangkahkan kakinya dengan helaan napas lelah serta keringat di dahi dan leher karena terik matahari.

Ternyata, di umurnya yang sekarang. Dunia masih terlalu jahat. Kakinya terus berjalan tak tahu arah, hingga pada akhirnya duduk di reruntuhan rumah warga di tepi jalan. Mengelus perutnya yang mengeluarkan alarm untuk di beri asupan.

"Ugh...aku laper...tapi aku nggak bisa kerja dengan bener...jangan nyusahin tuan kamu dulu..." Lirih Hapipah sambil memukul pelan dadanya. Menangis pun percuma, tak bisa menyelesaikan apapun.
__________________
Rifansyah berlari memasuki rumah, membuat tempat bernaung itu serasa bergoyang karena hentakannya. Dengan CCTV bertenger jelas di tangannya.

Sedangkan Iskandar duduk di sofa cokelat, di ruang tamu untuk melanjutkan game-nya yang sempat tertunda.

Tangan mungil terulur membuka kasar kamar Repan, Lalu menutup pintu kasar sehingga menimbulkan bunyi yang cukup keras.

"Eh...Rif, kenapa kau tiba-tiba masuk? Bikin kaget aja!!" Repan kesal. Namun atensinya teralihlan dengan CCTV di tangan Rifansyah.

"Ini Bang!! CCTV dari apartemen tua! Aku harus membantu Eteh, menemukan bukti kejadian dulu!! bang, tolong aku. Apa CCTV ini rusak?" Tangan Repan terulur mengambil saksi tersebut. Membongkarnya, lalu mengambil memory dari CCTV itu.

"Sebentar ya? Abang mau cek di laptop, file nya masih bagus atau sudah rusak." Ucapan Repan dibalas anggukan Samad dari lawan bicaranya.

Repan duduk dimejanya. Membuka tirai, lalu mulai bermain lihai di laptop-nya. Jari-jari nya bethenti, lalu menatap Rifansyah dengan tatapan nanar.

"Rif...file nya perlu di perbaiki. Memory nya sudah tua, nanti Abang perbaiki ya? Baru, kita bisa cek rekaman CCTV di apartemen itu."

Tutur panjang Repan membuat Rifansyah lagi-lagi menghela napas, gusar. Kenapa di saat-saat seperti ini, selalu ada saja halangannya.

"Maaf Eteh, sepertinya aku belum bisa membawa mu pulang. Maafkan aku..."

Halooo, hehe.
Udah. Gak mau ngomong apa-apa kok.
Mumpung di kasih hotspot, mau up.
Dah gitu aja ಠ⁠_⁠ಠ

Jangan lupa bahagia, dan papayy

RUMAH TANPA RAMAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang