Chapter 21: Dilemma

30 15 41
                                    

I hope I know you as readers who appreciate writers

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

I hope I know you as readers who appreciate writers

then don't forget to vote and comment, love you

beloved; key

**
Pagi itu, matahari baru saja mulai menyinari gedung markas Profesor Law. Angin dingin berhembus, membawa rasa kesedihan yang dalam di udara. Pemakaman Fay diadakan di sebuah area kecil di belakang gedung, dikelilingi oleh beberapa pohon tua yang menjulang tinggi. Jam menunjukkan pukul 7 pagi, dan seluruh anggota kelompok hadir dengan wajah muram memendam kesedihan.

Di sekitar mereka, anggota kelompok lainnya, termasuk Frey, berdiri dengan wajah suram. Frey terlihat sangat terpukul, matanya sembab karena kurang tidur dan menangis semalaman. Dia mengenang saat-saat bersama Fay, saudaranya yang kini telah pergi. Terlihat beberapa kali dia mencoba menahan air matanya, namun sesekali terisak tak kuasa menahan emosinya.

Profesor Law, yang jarang menunjukkan emosinya, berdiri di sisi lain, tampak lebih emosion dari biasanya. Dia berbicara dengan suara serak, memberikan penghormatan terakhir kepada Fay. “Fay adalah anak yang luar biasa. Dia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk semua orang di sekitarnya. Hari ini, kita kehilangan seorang teman, seorang sahabat, dan saudara.”

Setelah kata-kata Profesor Law, suasana hening sejenak. Suara angin dan dedaunan yang berdesir menjadi satu-satunya yang terdengar. Semuanya berdiri dalam diam, memberikan penghormatan terakhir kepada Fay. Beberapa menit kemudian, sebuah kotak kayu sederhana yang berisi barang-barang pribadi Fay diturunkan ke dalam tanah. Ketika upacara selesai, mereka perlahan kembali ke markas. Namun, suasana hati semua orang tampak suram.

Mereka tahu bahwa ini bukan hanya kehilangan seorang teman, tetapi juga kehilangan bagian dari diri mereka yang mungkin tidak akan pernah kembali. Setibanya di markas, masing-masing kembali ke aktivitas mereka, mencoba menemukan sedikit normalitas dalam kekacauan yang sedang terjadi.

Aria berjalan perlahan menuju ruang kesehatan, membawa secangkir susu dan semangkuk bubur hangat di tangannya. Suasana markas terasa sepi dan sunyi setelah kejadian semalam. Rasa cemas masih melingkupi pikirannya, terutama karena kondisi Ravi yang belum sepenuhnya pulih. Saat ia membuka pintu ruang kesehatan, cahaya matahari pagi masuk dan menyinari ruangan, memberikan sedikit kehangatan.

Aria melangkah masuk, menempatkan yang di meja samping ranjang Ravi. Ia lalu duduk di kursi di dekatnya, memperhatikan wajah Ravi yang tampak pucat dan letih. Pikiran tentang kejadian semalam masih menghantuinya—kehilangan Fay dan penahanan Kiran terasa seperti beban yang berat di hati.

Beberapa saat kemudian, Ravi mulai bergerak pelan. Matahari yang masuk melalui jendela membuatnya terjaga. Perlahan, ia membuka matanya dan melihat sekeliling. Pandangannya bertemu dengan Aria yang duduk tak jauh darinya, mata mereka bertatapan sejenak sebelum Ravi tiba-tiba teringat dengan kejadian semalam. Dengan mendadak, ia berusaha bangkit dari tempat tidur, namun rasa pusing yang mendadak menghantam kepalanya membuatnya terhuyung.Aria dengan cepat meraih lengan Ravi, membantunya untuk duduk kembali.

❝ᴛᴇᴄʜ ᴡᴀʀꜱ: ᴡᴇ ꜱᴛʀɪᴋᴇꜱ ʙᴀᴄᴋ❞ || ᴇɴʜʏᴘᴇɴ [ᴇɴᴅ]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang