Kedatangan Profesor Bima sebagai pengganti Profesor Law memunculkan kontroversi di sekolah. Profesor Bima, seorang ahli teknologi yang ambisius, memiliki pandangan yang berbeda. Dia mendukung pengembangan teknologi robotik tanpa batas, percaya bahwa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
jujur aku ngetik ini deg-degan bgtttt bgttt, but, enjoy aja gaisss.
eh, jangan lupa putar lagu diatas ya.. biar kerasa aja feelnya soalnya aku nulis chapter ini sambil dengerin No Time To Die : )
pastinya jangan banyak menaruh tanda tanya kalau baca chapter ini, contohnya kok bisa? hah? gimana dong?
tenang aja 3 chapter lagi ending kan haha, aku juga masih ragu nanti kesan endingnya bakal gimana, sad ya...(?) emm...
[don't forget to vote and comment, hope u always be happy]
**
Kota Nexopolis berada dalam ketegangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sejak berita besar yang mengungkap kebenaran tentang Profesor Bima tersebar semalam, masyarakat dari berbagai lapisan berkumpul di depan Balai Kota. Para wartawan sibuk dengan kamera dan mikrofon mereka, merekam setiap momen penting, sementara para demonstran yang marah memegang spanduk dengan berbagai tuntutan. Beberapa meneriakkan keadilan, sementara yang lain menuntut penjelasan dan pertanggungjawaban dari Profesor Bima.
Jam dinding di aula besar Balai Kota menunjukkan pukul enam pagi, saat persidangan yang ditunggu-tunggu seharusnya dimulai. Namun, ruangan yang penuh sesak dengan saksi, pengacara, dan berbagai pihak terkait itu tetap sunyi, menunggu kehadiran tertuduh. Di antara mereka, ada pengacara muda yang tajam dan ambisius, duduk di barisan depan, bersiap untuk membela pihak yang benar.
Di sisi lain aula, Profesor Law duduk dengan tenang. Meskipun wajahnya tampak tenang, pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran. Sebagai seorang akademisi yang selalu berdiri di sisi keadilan, dia tahu betapa pentingnya persidangan ini.
Namun, waktu terus berlalu tanpa tanda-tanda kehadiran Profesor Bima. Suara bisikan mulai terdengar di seluruh ruangan, spekulasi tentang ketidakhadirannya semakin menguat. Para demonstran di luar gedung semakin gelisah, teriakan-teriakan mereka semakin keras, menambah tekanan di dalam persidangan.
Pukul setengah delapan, pintu aula akhirnya terbuka, dan semua mata tertuju pada sosok yang baru saja masuk. Seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih, mengenakan jas yang tampak terlalu besar, berjalan perlahan ke depan. Itu Hakim, seorang pria dengan wajah serius dan tatapan yang tegas, memandang mereka dengan mata tajam.
Tak lama kemudian dua orang berjas hitam datang, itu adalah Profesor Bima dan pengacaranya.
Hakim di depan memandangi Profesor Bima dengan menghela napas sebentar, “Profesor Bima, Anda terlambat satu setengah jam. Ini adalah pelanggaran serius terhadap protokol pengadilan. Mengapa Anda tidak memberikan pemberitahuan sebelumnya tentang kondisi Anda?”