Kedatangan Profesor Bima sebagai pengganti Profesor Law memunculkan kontroversi di sekolah. Profesor Bima, seorang ahli teknologi yang ambisius, memiliki pandangan yang berbeda. Dia mendukung pengembangan teknologi robotik tanpa batas, percaya bahwa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hari Minggu, para peneliti memanfaatkan waktu yang banyak untuk praktikum mereka. Tommy, Lyanna, dan Leo yang ikut andil pun meluangkan waktu mereka. Tommy bertanggung jawab atas perkembangan Kiran selama ini dengan beberapa dokter yang membantunya.
Salah satu dokter melaporkan, "Tommy, project Kiran sudah tidak dapat diteruskan untuk hari ini. Dia berada dalam kondisi kritis dan jika diteruskan maka ingatannya akan hilang." Ucapnya kepada Tommy.
Tommy tersentak lalu menoleh dan berkata kepada dokter itu, "Proyek Kiran harus diteruskan karena dia adalah proyek yang berkembang pesat dalam kurun waktu satu minggu, dan NeuroCloner setidaknya akan bekerja untuk 15% lagi dan semuanya akan sempurna."
Salah satu pengawas berteriak, "Proyek Kiran mengalami pendarahan dari hidung dan telinga!"
Mendengar itu, Tommy berlari untuk ikut mengawasi dari luar ruangan kaca yang ditempati oleh Kiran. Meskipun Tommy yang melakukan semua ini, dia sedikit memiliki perasaan tidak tega bagi Kiran dan langsung mematikam perintah NeuroCloner.
Melihat hal itu, Lyanna mendekat dan meminta pengawas untuk segera membawa Kiran ke Ruang Perawatan, "Lepaskan NeuroCloner dan segera bawa dia ke ruang perawatan untuk di tindak lanjut, kita tidak boleh kehilangan satu orang lagi!" Titah Lyanna pada beberapa pengawas.
"Kamu gila, Tommy!" Lyanna menyentak Tommy. "Apa yang kamu lakukan? Jika seperti itu, kita akan kehilangan proyek berharga lagi. Aku tidak ingin kehilangan Kiran seperti lima siswa lainnya karena dia berkembang pesat dalam satu minggu ini."
Tommy hanya diam, merutuki semua perlakuannya pada Kiran. Ada rasa penyesalan sedikit dalam hatinya. Dia tahu apa yang mereka lakukan salah, tapi tekanan untuk berhasil membuatnya buta terhadap moralitasnya sendiri.
Setelah beberapa jam perawatan, dokter kembali melaporkan bahwa Kiran mengalami penurunan kesadaran dan kondisinya kritis. Tommy, yang sedang duduk di sudut ruangan dengan kepala tertunduk, bergumam, "Apa yang aku lakukan padanya? Padahal Kiran tidak salah..." Ucapannya semakin tenggelam dalam rasa bersalah yang mendalam.
Tommy langsung melepas jasnya dan keluar dari ruang laboratorium robotik, berjalan cepat menuju ruang perawatan. Setibanya di sana, ia membuka pintu dengan hati-hati, dan melihat Kiran terbaring lemah dengan nebulizer terpasang di wajahnya. Peralatan medis di sekitar Kiran terus mengeluarkan bunyi yang monoton, menandakan betapa seriusnya kondisi Kiran.
"Maaf, Kiran. Harusnya kamu memang tidak terlibat dalam semua ini," gumam Tommy dengan suara serak, merasa tercekik oleh rasa bersalah. Air matanya hampir jatuh ketika melihat sahabatnya dalam keadaan seperti itu.
Tommy mendekati tempat tidur dan duduk di kursi di sebelahnya. Dia meraih tangan Kiran, yang terasa dingin dan lemah. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang."
Tommy lebih memilih pergi untuk menjenguk ibunya di rumah sakit daripada kembali ke laboratorium. Langkahnya terasa berat saat dia memasuki ruang perawatan. Ibunya terbaring lemas di tempat tidur, selang-selang medis terhubung ke tubuhnya. Tommy duduk di sampingnya, menggenggam tangan ibunya yang terasa dingin.