Chapter 18: Profesor Bima's Sinister Experiment

36 16 37
                                    

Tommy berdiri di depan pintu besi yang kokoh, menatap tombol "OPEN" dengan penuh frustrasi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tommy berdiri di depan pintu besi yang kokoh, menatap tombol "OPEN" dengan penuh frustrasi. Dia menekannya lagi dan lagi, berharap pintu itu akhirnya terbuka. Namun, setiap kali dia mencobanya, tidak ada hasil. Dengan marah, Tommy menendang pintu tersebut, tetapi tak ada yang terjadi.

Tiba-tiba, suara yang tidak asing terdengar dari belakangnya. "Kamu tidak akan bisa membuka pintu itu," katanya. Tommy berbalik dengan cepat dan melihat Lyanna berdiri di sana, lagi-lagi muncul di saat yang tidak tepat.

"Penjaga akan datang sebentar lagi," kata Lyanna dengan nada mendesak, lalu menghampiri Tommy dan memegang tangannya. "Kita harus pergi sekarang."

Tommy dengan cepat menepis tangan Lyanna, menatapnya dengan mata penuh kekecewaan. "Buka pintunya, Lyanna," desaknya dengan nada marah. Dia kembali menekan tombol "OPEN" dengan putus asa, kemudian mencoba menghubungi Ravi melalui wavetalk. "Ravi! Ravi, bisakah kamu mendengar aku?" panggil Tommy, tetapi tidak ada respon. Kekhawatirannya semakin memuncak.

Dengan panik, Tommy terus memanggil nama Ravi, berharap temannya akan menjawab. Namun, keheningan yang hanya dia terima semakin membuatnya gelisah. Lyanna berdiri di sampingnya, ekspresinya penuh kecemasan.

"Tommy, kita benar-benar harus pergi sekarang. Penjaga bisa datang kapan saja," ucap Lyanna dengan nada mendesak.

Namun, Tommy tidak bisa berhenti. "Tidak, aku tidak bisa meninggalkan mereka," katanya dengan tegas. Dia kembali menekan tombol "OPEN", meski tahu usaha itu mungkin sia-sia.

"Ayo, buka pintu itu!" Tommy memohon pada Lyanna, suaranya penuh kegelisahan. Namun, Lyanna tetap menolak. Tommy, yang frustrasi, memukul pintu besi dengan keras. "Aku tidak akan memaafkanmu, Lyanna," bentaknya dengan marah. Dia berbalik hendak pergi, namun tiba-tiba langkahnya terhenti oleh kata-kata Lyanna.

"Ibumu."

Tommy terpaku. Semua kemarahan dan frustrasinya dipendam dalam sekejap. Dia perlahan berbalik menghadap Lyanna, matanya penuh dengan campuran emosi. "Apa yang kamu katakan?" Ucapnya, hampir tidak percaya.

Tommy berdiri di depan Lyanna, menatapnya dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan ketidakpercayaan. Kata-kata Lyanna berputar-putar di kepalanya, membuatnya merasa semakin terjebak dalam ketidakpastian.

"Aku tahu di mana ibumu," kata Lyanna dengan pelan.

Tommy terkekeh pelan, tidak percaya. "Ibuku sudah meninggal, Lyanna. Ayahku yang membunuhnya. Kamu tau itu." jawabnya dengan nada pahit, mengenang kejadian tragis yang telah menghantuinya selama bertahun-tahun.

Lyanna mendekat dan dengan lembut menangkup wajah Tommy dengan kedua tangannya. "Tidak, Tommy. Ibumu ada di rumah sakit selama ini," katanya, suaranya penuh kepastian. Tommy menatap Lyanna, mencoba mencari kebenaran di matanya.

Dia melepaskan tangan Lyanna dari wajahnya, merasa bingung dan tidak yakin. "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri," bisiknya. "Ayahku... dia menusuk ibuku. Aku melihatnya."

❝ᴛᴇᴄʜ ᴡᴀʀꜱ: ᴡᴇ ꜱᴛʀɪᴋᴇꜱ ʙᴀᴄᴋ❞ || ᴇɴʜʏᴘᴇɴ [ᴇɴᴅ]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang