EPILOG

1.2K 81 49
                                    

****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


****

"RENATTAAAA!!!"

Peluh membanjiri dahi Servian. Napasnya juga memburu seiring dengan eratnya cengkeraman tangannya. Tidak! Ini tidak boleh terjadi.

Tatapan matanya mengedar. Ia seperti dipaksa untuk langsung menyadari situasinya saat ini. Padahal, sangat jelas sekali di pelukannya... Renatta terbaring. Dingin dan kian menjauh. Lalu... dimana wanita itu sekarang?

Cklek!

"Servian? Apa ada yang sakit?"

Kepala Servian menoleh mendengar suara yang akrab di telinganya itu. Matanya melebar, dan jantungnya berdetak sangat cepat. Rasanya agak sakit, tapi apa ini? Seperti sebuah kelegaan yang tiada tara.

Servian menyibakkan selimutnya dan turun dari ranjang. Ia berjalan sedikit gontai, namun tujuannya jelas sekali. Pria itu menarik lengan wanita yang kini berdiri di ambang pintu. Lalu ia memeluknya dengan erat seolah hari esok tak akan tiba.

Dipeluk sedemikian rupa, membuat si wanita merasa terkejut tentu saja. Pasalnya, Servian... pria yang tengah memeluknya ini, tak pernah sekalipun menginginkan kontak fisik dengannya setelah mereka menikah. Ini semua bukan tanpa alasan. Karena mereka...

Mereka menikah akibat perjodohan.

Lalu, apa yang membuat Servian memeluknya seerat ini?

Ah, apakah karena kemarin Servian demam tinggi hingga tak sadarkan diri ya? Renatta diam-diam memikirkan kemungkinan itu. Tapi ia tak menolak ataupun protes. Ia memejamkan matanya, mendengar detak jantung Servian yang agak memburu. Mendengar deru napas pria yang menikahinya 1 bulan yang lalu. Mencoba menikmati pelukan hangat yang mungkin hanya sebuah kesalahan. Servian tak mungkin tiba-tiba memiliki perasaan padanya kan?

Beberapa menit berlalu, Servian melepaskan pelukannya. Ia menatap wajah Renatta lekat-lekat. Mimpi buruknya benar-benar mengerikan. Bagaimana mungkin ia bisa kehilangan wanita ini? Di depan matanya, dan di dalam pelukannya?

"Apa kau baik-baik saja? Apa demamnya sudah turun?" Servian mengangguk.

"Maafkan aku."

"Ya?"

"Maafkan aku Renatta. Maafkan kebodohanku. Maafkan aku yang membuatmu lelah dan sedih."

Renatta terdiam mendengarnya.

Servian menatap ke arah buku yang tergeletak di atas mejanya. Ia demam tinggi setelah membaca buku itu. Beberapa hari lalu, seorang teman datang berkunjung dan dia meninggalkan buku itu. Servian tak mengira ia akan betah membaca buku romansa seperti itu. Bukankah itu buku yang biasanya disukai para gadis? Sehari setelah membacanya, Servian jatuh sakit karena terlalu banyak bekerja hingga lupa waktu. Ia mengabaikan kata-kata Renatta karena menganggap wanita itu tak mengenal dirinya.

"Sepertinya aku..." Servian kembali menatap Renatta, "sepertinya aku dihukum. Sangat berat, hingga aku pikir aku akan mati." Servian memegangi pundak Renatta. Bergantung pada wanita yang ia nikahi secara terpaksa itu. Kini, yang ada hanya perasaan takut dan khawatir.

"Jangan pergi meninggalkanku..." bisik Servian di samping telinga Renatta.

Renatta tersenyum lembut, mengusap punggung Servian yang kini telah memeluknya kembali.

"Sekali menikah tetap menikah kan?" balas Renatta.

"Jangan pergi walaupun aku memintamu untuk pergi. Aku sangat buruk, jadi tetaplah disampingku."

Renatta tersentuh mendengar kata-kata Servian yang tidak romantis itu. Ia teringat dengan pernikahan mereka yang dilandasi oleh perjodohan. Dan memang agak membuat dadanya terasa nyeri.

"Sepertinya kau tergila-gila kepadaku ya?"

Servian reflek melepaskan pelukannya dan menatap lekat-lekat wajah istrinya. Ia yakin bahwa saat ini ia sudah terbangun. Tapi kenapa Renatta mengatakan sesuatu hal yang mirip dengan mimpinya?

Renatta tersenyum manis. Membuat jantung Servian kembali berdetak cepat.

"Ya. Aku tergila-gila padamu. Renatta..."

Wajah Renatta merah padam mendengarnya. Ia menelan ludah gugup, tapi berusaha tetap tenang karena tidak ingin Servian mendengar debaran jantungnya yang mulai menggila.

"Ka-kau sudah benar-benar sembuh? Atau ki-kita ke dokter saja?" Renatta mengalihkan pembicaraan.

Renatta merawat Servian siang malam sejak kemarin. Ia bahkan izin untuk tidak bekerja karena di rumah tidak ada yang merawat Servian. Sejak menikah dengan pria ini, Servian membawanya ke rumah pria itu dan dengan tegas mengatakan tidak ingin mempekerjakan seorang pembantu. Karena Servian terbiasa melakukan semua sendiri dan tidak nyaman dengan kehadiran orang lain di rumahnya.

Renatta hampir membawa Servian ke rumah sakit jika saja pria itu tidak berteriak-teriak memanggil namanya. Lalu menangis dan merintih, membuat Renatta bingung harus melakukan apa.

"Aku baik-baik saja." Servian menarik tangan Renatta, duduk di tepi ranjang.

"Eum, ka-kau makan ya? Aku sudah masak."

"Aku masih ingin seperti ini." Servian melingkarkan tangannya di pinggang Renatta.

Renatta memejamkan matanya. Ia geli. Ia merasa Servian sedang menggodanya saat ini. Apa pria itu mengalami masalah pada otaknya hingga bisa berubah seperti ini? Sambil menghindari tatapan Servian, Renatta melihat ke sekeliling. Lalu, ia melihat sebuah buku diletakkan begitu saja di atas meja.

The Duke's Little Wife.

Renatta sedikit tercengang dengan judul yang tertera di atas sampul buku itu. Bukankah itu buku novel? Novel romansa? Servian membaca sebuah novel romansa?

***

Selesai.

***

*

*

*

Maklum lah ya... namanya jg mimpinya orang demam. :)

Sudah tamat ya..mentok bgt sampe epilog. Walaupun ga jelas dan aneh, saya bangga😃

The Duke's Little BirdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang