CHAPTER 41 : FIRST WINTER

48 6 2
                                    

"Xiao..."

Setelah Childe menjatuhkan diri dari jendela kamarnya yang terletak di lantai atas. Akhirnya Xiao muncul dari belakang, Luan berbalik terdiam beberapa saat.

"Kenapa kau hanya diam saja?"

Itulah kata pertamanya. Kalimat pertama yang pria itu lontarkan pada gadis itu ketika ia tiba disana. Bukan ucapan khawatir seperti, "kau baik-baik saja?" atau bahkan bentuk syukur karena dirinya masih hidup. Terlebih juga bukan ucapan yang mengungkapkan rasa sayang padanya. Sungguh ironis.

"Xiao... Kau datang."

"Kau memanggilku."

Mengabaikan reaksi gadis itu ketika ia tiba disana, Xiao langsung mengangkat tubuhnya dan tanpa aba-aba berpindah tempat menggunakan telepati.

Xiao menurunkan tubuh Luan ketika sampai di tempat yang sama sekali tidak di kenalinya. Xiao mulai berjalan, Luan yang kebingungan hanya mengikutinya dari belakang, setelah satu minggu tidak bertemu, keduanya jadi sedikit berbeda. Suasananya sangat kaku, bahkan Luan yang berada jauh di belakang tidak berani berisik, cuma mengikuti dari belakang tanpa suara.

Biasanya saat bersama Xiao, dia pasti menggodanya atau bahkan mengoceh sepanjang hari sementara Xiao pasti memberinya cibiran dan sindiran tajam dari bibirnya untuk melepas energi berlebihan yang dimiliki gadis itu. Tapi sekarang tak ada satu pun yang bersuara, hanya memperhatikan langkah masing-masing.

Kejadian Childe memukul telak hati Luan, membuat tak nyaman dan tercekik _______ apa arti kehilangan Childe bagi Luan? Seperti kehilangan sesuatu yang besar, kalau memang begitu, lebih baik dari awal, sekalian saja dia jadi orang bodoh yang mempercayai Childe dan pergi bersamanya sebagai orang yang idiot. Bukankah hidupnya saat ini berhutang pada satu kematian? Luan benar-benar mau hidup, tapi tidak mau menempel di benang kehidupan milik orang lain.

Tiba-tiba Luan bernyanyi, "Dalam bayangan bebatuan yang dibasahi hujan, selalu mekar cukup kecil. Bunga itu pasti kesakitan dalam hujan bahkan warnanya meredup. Kelopaknya merah muda, Tidak ada satu pun tangan untuk mengagumi. Dengan apa aku membandingkan hatiku? Hati seperti bunga Dengan apa aku membandingkan hatiku? Rasa sakit seperti berada di tengah hujan."

#Song= Teru song/Teru no Uta.


Suaranya sedikit serak, setiap kata dan kalimat menyembunyikan kesedihan dan kemarahan, meninggalkan rasa kecewa dan penyesalan yang tak terkatakan.

Angin dingin menyapu tenggorokan Luan seperti mencekiknya. Tiba-tiba dia berhenti lalu membungkuk dan terbatuk, di bibir yang nyaris tak berwarna itu ada segaris warna benar-benar tipis seperti tersenyum, warna merah darah gelap.

Langit yang suram dengan berat menahan mereka, di sekitarnya terlihat ladang luas dan jalan setapak dipenuhi rumput liar, Angin meniup lengan hanfu Luan yang lebar, seolah mengajaknya pergi bersama. Luan mendongak menatap punggung kurus namun bahu tegap milik Xiao, angin menyapu rambut panjang di pelipisnya seperti cambuk, menyerang sisi wajah gadis itu. Luan memejamkan mata, menghalangi bayangan yang memenuhi penglihatannya dan sepenuh hati memusatkan perhatian pada rasa sakit yang membara. Sepertinya dampak karma mulai aktif karena kurang lebih satu Minggu ini Luan tidak memakan obatnya. Bukan tanpa alasan dia melakukannya, dia hanya ingin kembali merasakan derita yang selama ini Xiao alami. Orang tuanya pernah mengakatan, jika kau menyukai seseorang kau harus memahaminya, jika kau belum merasakan rasa sakitnya, maka kau tidak akan pernah bisa memahaminya.

Xiao tiba-tiba mengangkat kepala, dan menatap langit yang seolah akan terjatuh, sesuatu yang sejuk menimpa wajahnya _______ salju pertama Liyue sudah turun.

DEAR MY LIVING DEAD || XIAO魈 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang