01: Rencana

797 68 1
                                    

YOU POV

Rembulan bersinar terang di tengah gemerlapnya suasana malam kota Seoul, Korea Selatan. Aku hapus kasar air mata yang membasahi wajahku, sambil memperbaiki posisi masker dan face shield yang aku kenakan. Beruntung, saat ini aku sedang duduk di sebuah halte yang berhadapan langsung dengan jalan raya yang padat lalu lintas, sehingga isakanku tak dapat terdengar jelas di tengah bisingnya suara kendaraan. Aku terus meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tak perlu takut yang berlebihan sehingga membuatku terus menitikan air mata.

Aku rogoh saku celana jeans yang aku kenakan guna mengambil handphone milikku. Mencari sebuah nama yang mungkin saja dapat meredakan kesedihanku. Langsung aku panggil orang tersebut melalui sambungan telepon.

Tak perlu menunggu lama hingga akhirnya panggilan itu tersambung dengannya. "Jay.." lirihku, memanggil nama Jay dengan suara yang bergetar.

"Y/n, kau menangis?" tanya Jay yang tanpa sadar memancing air mata kembali mengalir membasahi wajahku.

"Bisakah kamu menjemputku sekarang? Aku sedang bertengkar hebat dengan kekasihku dan aku tak tahu harus kemana.." pintaku dengan sangat. Aku tak perduli dengan tatapan bingung orang yang duduk di sebelahku.

"Kamu dimana ini?" Lelaki itu mulai terdengar khawatir.

"Nanti aku share lokasiku." ucapku, kembali menghapus air mata yang mengalir tanpa henti.

"Baiklah, aku dan Niki otw kesana sekarang.."

Niki? Syukurlah!

"Iya, cepat ya.." langsung aku matikan panggilan tersebut, tak lupa aku bagikan lokasiku saat ini padanya lalu aku menoleh ke sebelah kanan, tepat ke sebuah mobil yang tengah berhenti di pinggir jalan, tak jauh dari halte bus ini. Kacanya mobilnya gelap, tapi aku tahu ia telah bersiap.

Semenjak pandemi yang menyerang berbagai negara, banyak dari masyarakat yang akhirnya memikirkan kesehatannya dengan mengunakan masker dan face shield saat keluar rumah. Tak jarang pula, aku temui handsanitizer gratis serta beberapa tempat untuk mencuci tangan, terutama pada tempat-tempat umum seperti halte bus ini. Cukup lama aku menunggu kedatangan mereka disini, hingga..

Tin!

Sebuah mobil sedan berwarna abu-abu berhenti tepat di depan halte bus. Aku yakin, mobil itu adalah milik Jay. Langsung aku bangkit dari dudukku dan masuk ke dalam mobil sedan itu.

Aku duduk di sebelah Jay yang sedang mengemudi sedangkan Niki duduk di belakang, sendirian.

"Kau baik-baik saja?" tanya Jay, membawaku agar dapat menatapnya. Ia membantuku melepas masker dan face shield di wajahku, karena kami sering bertemu sehingga ia sudah tak takut lagi akan pandemi saat ini.

Jay perhatikan wajahku dengan seksama, tangannya terulur ke luka di pinggir bibirku. "Memar?" tanya Jay terlihat begitu khawatir. Ia menyadari tak hanya satu memar melainkan ada banyak yang berusaha aku tutupi menggunakan masker dan rambutku.

"Dia memukulmu?" Aku mengangguk pelan, tak ingin menatap kedua atensinya karena hal ini sangatlah memalukan bagiku. Aku menyadari Niki yang terus menatap kami dalam diam di belakang sana. Memaksa tangisku pecah mengiringi ketakutan yang semakin dalam aku rasakan.

Tubuhku bergetar hebat saat isakanku mulai memenuhi mobil Jay. "It's okay, kamu aman bersamaku," Jay membawaku ke dalam pelukannya, berusaha menenangkanku walau aku tahu semua akan percuma. Aku malah semakin takut dibuatnya. Aku tak bisa berbuat apa-apa, selain terus berpura-pura, aku tak boleh membuat Niki dan kawannya kecewa.

Cukup lama kami berpelukan, aku melirik ke arah Niki yang sibuk memainkan handphone miliknya. Sialan?!! Aku sudah sangat mendalami peran tapi mengapa dia tak berbicara sepatah katapun?

THE DAY AFTER QUARANTINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang