[S2] 02: Buah Hati

465 54 5
                                    

YOU POV

Aku sadar benar lelaki yang duduk di sebelahku ini telah banyak berubah, mulai dari cara bicaranya yang terdengar sangat tenang namun menusuk, cara ia menatapku dengan senyuman tipis yang terukir di wajahnya, cara ia menggandeng tanganku memasuki kamar hotel yang telah ia sewa.

Tak ada paksaan yang berarti, karena aku telah memutuskan untuk kembali padanya ketimbang kehilangan nyawaku sendiri. Kehidupanku juga bukan sinetron yang bisa mengubah alur naskah dengan membuat seseorang kembali hidup setelah kematian. Aku juga tak percaya akan reinkarnasi karena aku tak ingin bertemu seseorang seperti Heeseung lagi di kehidupan berikutnya.

"Jadilah wanita yang penurut dengan begitu daddy tidak akan menyakitimu lagi." bisik Heeseung setelah berhasil membuka pintu kamarnya. Ia membawaku masuk dengan tak lupa menyerahkan seluruh senjatanya pada para anak buah yang menjaga di depan pintu kamar ini. Kamar hotel ini terletak di lantai tujuh yang tidak memungkinkan aku untuk kabur.

Heeseung tuntun aku untuk duduk bersimpuh di atas karpet seraya ia lepaskan ikat pinggang di tubuhnya. Ia buat pola menggunakan ikat pinggang tersebut untuk mengikat kedua tanganku di depan tubuhku.

Aku hanya terus menuruti perintahnya seperti seekor kucing jinak yang patuh pada majikannya. Setelah ia berhasil menahan kedua tanganku, Heeseung elus permukaan wajahku menggunakan sebelah tangannya. Tanpa sadar aku memejamkan mata seolah lama tak merasakan sensasi seperti ini. Sensasi yang aku sendiri tak tahu mengapa terasa begitu nikmat padahal ia hanya mengelus wajahku menggunakan tangan kasarnya itu.

Perlahan Heeseung tuntun ibu jarinya masuk ke dalam mulutku. Menekan lidahku seolah meminta aku mengemut ibu jarinya tersebut. Tubuhku mengikuti saja apa yang lelaki itu inginkan seolah pasrah akan segalanya. Tidak, aku hanya akan pasrah malam ini, setelah itu aku akan memikirkan cara untuk menyingkirkan lelaki itu dari kehidupanku.

"Lihatlah, kau bahkan menyukai sentuhan ku." ucapan Heeseung itu mampu membuatku tersadar dari kenikmatan yang ia berikan dengan membuka mataku.

Aku tatap Heeseung tajam dari bawah, sedangkan lelaki itu hanya terus tersenyum padaku. Ia keluarkan ibu jarinya dari dalam mulutku untuk memberikan satu tamparan keras ke wajahku. "Jangan tatap aku seperti itu!" perintahnya. Mau tak mau aku ubah tatapanku menjadi lemah dan memohon hanya untuk menuruti pintanya. Walau otakku terus memaksa untuk memberontak dari segala kuasanya.

"Daddy tahu kamu masih kesal dengan daddy, tapi sadarkah kamu masih ada perasaan yang tertinggal disini untuk daddy?" tanya Heeseung sambil menunjuk ke arah dada bagian kananku. Tidak, dia hanya menunjuknya, belum menyentuhnya. Setelah itu tangannya beralih mengelus daguku penuh kelembutan.

"Semua orang tahu aku mencintaimu daddy, tapi dulu." ujarku susah payah menahan gejolak aneh yang aku rasakan saat Heeseung perlahan turun untuk mendekatkan wajah kami. Satu yang aku sadari, aku masih menyukai senyuman manis lelaki itu.

"Sekarang? Tugas daddy untuk membangkitkan rasa cinta itu lagi. Daddy sudah memiliki segalanya sayang, rumah mewah, para penjaga yang siap 24 jam, kekuasaan di dua negara, Thailand dan Vietnam serta pendapatan yang menjanjikan. Hidup daddy hanya kurang satu hal, yaitu dirimu." ungkap lelaki itu.

Untuk saat ini, aku tak menemukan cara untuk lepas dari lelaki itu tetapi mungkin setelah menjalaninya, aku dapat menemukan kelemahan Heeseung selain diriku sendiri.

"Daddy ingin menikahimu secepatnya." ucapan itu sukses membuatku terdiam seraya menundukkan wajahku. Sadar atas reaksi tersebut, Heeseung tuntun aku untuk duduk di pangkuannya saat ia telah mendudukkan diri di atas sofa ruangan. Heeseung bawa dua tanganku yang masih terikat ikat pinggang miliknya untuk melingkar di lehernya. Kedua tangan lelaki itu memeluk pinggangku erat sambil sesekali mengelus punggungku lembut.

"Daddy akan melakukan apapun untuk memperbaiki hubungan kita, kau ingin sesuatu, tinggal bilang saja, akan daddy kabulkan. Daddy juga berjanji untuk perlahan berubah dengan tidak menyakitimu lagi, baik itu saat kita bercinta atau saat kita sedang berbicara. Tapi ya, memang tak semudah itu, daddy akan mengubahnya secara perlahan jadi daddy mohon jangan tinggalkan daddy lagi." ucap lelaki itu sambil menatap mataku. Hanya keyakinan yang aku dapatkan dari tatapannya, tak ada sedikitpun keraguan yang bisa aku gunakan untuk melawan balik.

"Daddy tak takut aku mengkhianati daddy lagi?" tanyaku yang langsung dibalas Heeseung dengan, "Daddy akan membuatmu bergantung pada daddy sehingga kamu akan berpikir ulang untuk mengkhianati daddy." jawabnya. Aku yang penasaran pun kembali bertanya, "Dengan cara?".

"Apapun, termasuk membuatmu hamil anakku." tunggu, aku pikir ia akan menggunakan keluargaku lagi sebagai ancaman, tapi malah hal tak terduga itu yang dia jadikan ancaman untukku. Lalu, haruskah aku jujur mengenai hal ini? Aku hanya takut ia menyiksaku atas kenyataan tersebut. Aku belum siap melaluinya.

"Tak bisa daddy." ucapku, sengaja membuat lelaki itu bingung hingga tanpa sadar melepaskan pelukannya di pinggangku.

"Kenapa tak bisa? Kita akan bersama terus setelah ini jadi kita memiliki banyak kesempatan untuk membuatnya!" oh tuhan, dia memang tak pantang menyerah sampai di titik akhir perjuangan. Aku hanya menggelengkan kepala sambil mengalihkan pandanganku darinya.

"Kenapa? Kau sakit?" tanya Heeseung semakin menduga hal yang tidak-tidak. Bukan, bukan karena aku sakit tetapi.

"Aku sudah memiliki anak." ucapan itu sukses menempatkan Heeseung dalam posisi sulit. Antara ingin marah atau sedih mendengar kenyataan tersebut, apa ia pikir lima tahun adalah waktu yang singkat? Anakku bahkan sudah besar dan mengerti akan banyak hal. Sebenarnya Jake memutuskan untuk tetap bersamaku dan Jay karena alasan tersebut, karena anak itu memang anak kandungnya.

"Kau berbohong." ucap Heeseung masih tak terima dengan kenyataan. Namun, aku tak akan berhenti sampai disitu.

"Untuk apa berbohong? Anakku bernama Jovan Sim berusia 3 tahun dan aku memiliki fotonya oppa. Aku tak berbohong." ucapku kemudian berniat bangkit untuk mengambil tas milikku, terdapat ponselku di dalam tas tersebut dan aku sengaja menunjukkan foto ini padanya.

(Author ga nemu foto anak yg mirip sama Jake jadi pake foto masa kecilnya aja ya. Anggap saja penggambaran anaknya seperti foto ini)

"Tidak mungkin!!!" Heeseung tentu tak percaya begitu saja dengan kenyataan tersebut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Tidak mungkin!!!" Heeseung tentu tak percaya begitu saja dengan kenyataan tersebut.

"Aku juga tak percaya sebelumnya karena aku yakin selalu meminum obat milikku tepat waktu, tapi setelah oppa menembak ku malam itu, dokter mengatakan kalau aku sedang mengandung janin berumur 4 minggu. Aku kehilangan banyak darah dan hampir meregang nyawa akibat tembakan itu." jujurku akhirnya membuka semua hal yang berusaha aku tutupi selama ini.

"Dimana anak itu sekarang?" tanya Heeseung setelah mengacak rambutnya kasar.

"Bersama ayahnya, Jake Sim." jadi sebelum berangkat menuju pertemuan di gedung terbengkalai tadi, kami sempat menitipkan Jovan di rumah seorang teman kami untuk beberapa waktu. Aku hanya tak menyangka kejadian ini akan terjadi padaku.

Aku mengalah bukan berarti aku lemah, tapi aku harus menjaga diriku sendiri untuk anakku. Aku tak mungkin menyerahkan begitu saja nyawaku pada Heeseung. Cara terbaiknya adalah mengalah sambil memikirkan jalan keluar yang tidak terlalu membahayakan nyawaku. Jovan juga yang menjadi alasan terbesar Jake bertahan denganku walaupun aku lebih memilih menaruh sebagian perasaanku pada Jay.

TBC

THE DAY AFTER QUARANTINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang