[S2] 06: Kecemburuan

356 39 9
                                    

YOU POV

Sementara Jake mengantar anak kami pergi ke sekolah, aku turun untuk mencari keberadaan Jay yang menghilang entah kemana. Aku masuki sebuah ruangan yang terdengar gaduh, seperti ada seseorang yang membentak banyak orang.

Aku yakin, bentakan itu berasal dari Jay yang ingin melampiaskan rasa marahnya. Aku buka pintu ruangan dengan perlahan seiring bentakan lelaki itu yang terdengar semakin kencang, memenuhi tempat anak buah kami beristirahat setelah melakukan sift malam pengantaran obat ke beberapa pengedar.

"Mana yang lain ini? Kok tak ada yang berjaga di lantai bawah!! Tidur semua disini! Yang sift malam kan hanya beberapa orang, kenapa pada sibuk bermain game disini?!!" perhatian seluruh anak buah kami diam-diam tertuju padaku dengan tatapan memela...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mana yang lain ini? Kok tak ada yang berjaga di lantai bawah!! Tidur semua disini! Yang sift malam kan hanya beberapa orang, kenapa pada sibuk bermain game disini?!!" perhatian seluruh anak buah kami diam-diam tertuju padaku dengan tatapan memelas seperti meminta tolong.

Aku hanya diam, sambil melipat kedua tanganku di depan dada hingga seorang anak buah kami hampir menabrak tubuhku yang berada di balik pintu ruangan, "Eh, nyonya! Maaf, saya pikir tak ada siapapun di balik pintu." ucap lelaki itu sukses menghentikan bentakan Jay.

"Iya tak apa." jawabku tak mempermasalahkan itu. Perhatianku terus tertuju pada Jay yang akhirnya membalikkan badan sambil terdiam menatapku penuh arti.

"Ada apa ini? " tanyaku meminta penjelasan atas kekacauan yang terjadi. Seorang anak buah kami pun menjawab, "Maaf nyonya, bukan kami yang bertugas menjaga lantai dasar, kami baru saja pulang dari dermaga untuk membawa barang menuju pergudangan." jelas anak buah kami yang membuatku tak henti menatap Jay balik.

Merasa tak terima dengan penjelasan itu, Jay ingin pergi meninggalkan tempat ini sebelum aku hentikan niatnya tersebut, "Kau kenapa sih?" tanyaku, sengaja berbisik agar tak didengar anak buah kami. Jay hempaskan tanganku yang menahannya.

"Masih bertanya?" tanya Jay balik, berniat pergi namun berusaha aku tahan dengan berbagai cara, "Jangan seperti ini, aku tak bisa membaca pikiranmu Jay

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Masih bertanya?" tanya Jay balik, berniat pergi namun berusaha aku tahan dengan berbagai cara, "Jangan seperti ini, aku tak bisa membaca pikiranmu Jay." jawabku.

Akhirnya lelaki itu terdiam dengan atensi yang berkaca-kaca. Sengaja aku lepaskan tanganku yang menahan tubuh Jay lalu memintanya keluar untuk mengatakan, "Maaf ya menganggu waktu istirahat kalian. Jangan terlalu dipikirkan, biar saya saja yang menjelaskan pada pak Jay." ucapku dalam bahasa Vietnam.

Banyak anak buah kami yang ingin melanjutkan kegiatan tidurnya, namun ada seorang pria tua yang berkata, "Kalian sedang bertengkar ya? Tak biasanya pak Jay marah tanpa alasan yang jelas seperti ini." tanya pria tua itu masih dalam bahasa Vietnam.

Aku pun menjawab, "Iya, kami sedang bertengkar. Maaf menganggu waktu istirahatmu, pak." walaupun aku merupakan bos mereka. Aku masih berusaha sopan pada orang yang lebih tua. Setelah mengatakan itu, aku keluar untuk mencari keberadaan Jay yang ternyata sedang menghisap rokok miliknya di sebuah balkon.

Aku hampiri kekasihku tersebut, sempat terdiam beberapa saat sebelum melayangkan pertanyaan untuknya, "Kau marah kenapa? Jangan seperti ini, aku tak bisa membaca pikiranmu, Jay". Jay hembuskan asap rokok dari mulutnya, "Sepertinya kau sudah menentukan jawaban atas pertanyaan semalam".

Aku langsung mengerti maksud ucapannya. Aku mendekat ke arah lelaki itu sambil menatap wajahnya dari samping, "Kau tahu, aku sangat mencintaimu kan?" tanyaku yang langsung Jay jawab, "Kau juga tahu aku sangat mencintaimu! Tapi, setiap pagi aku harus menyaksikan kemesraanmu dengan Jake yang membuatku muak! Andai saja Jovan adalah anak kandungku, pasti aku tak perlu menjaga jarak darimu di depan Jovan. Aku tak suka Y/n saat perhatianmu hanya tertuju pada Jake seorang, sedangkan aku terasingkan di meja makan!" Jay akhirnya mengutarakan seluruh isi hatinya dengan mata yang berkaca-kaca.

Satu yang aku rasakan selama menjalin kasih dengan lelaki ini, dia masih sama menggemaskan ketika cemburu dengan sahabatnya itu. Walau begitu, Jay tetap tak keberatan saat aku bermesraan bahkan tidur dengan Jake, yang ia kesalkan hanyalah saat aku tak bisa adil dalam memberikan perhatian itu padanya.

Apalagi semenjak kehadiran Jovan dalam hidup kami. Dari umur tiga tahun, aku selalu meminta Jay menahan diri untuk tidak terlalu intim denganku di depan Jovan, walaupun kami sering kali kelepasan apalagi saat lelaki itu menginginkanku. Ah, kelepasannya juga hampir setiap malam karena Jay memiliki hasrat yang besar.

"Apalagi setelah kejadian semalam, aku jadi berpikir, apakah aku memang menjadi penghalang untuk kalian berdua? Aku akui, aku memang egois karena tak merelakanmu begitu saja hidup bahagia bersama Jake dan Jovan." tambah Jay sukses membuatku merasa bersalah hingga nekat memeluk tubuhnya erat. Aku tenggelamkan wajahku pada dada lelaki itu, merasakan jantung Jay yang berdegup sangat cepat.

"Ne, setelah aku pikir-pikir, aku memang tak bisa bersama kalian berdua terus menerus. Aku harus memilih salah satu antara kalian-"

"Kenapa kau selalu memikirkan perkataan orang lain, Y/n? Kita mafia, kita sudah terbiasa hidup keras karena pilihan ada di tangan kita sendiri. Kamu ingin memiliki dua orang suami? Kenapa tidak? Toh kamu tahu, aku lebih memilih berbagi dengan Jake ketimbang pergi meninggalkanmu. Kita sudah bertahun-tahun hidup bersama Y/n, akan terasa sulit jika kamu harus memilih salah seorang dari kami. Aku tak ingin kehilanganmu untuk kesekian kalinya." ucapan Jay itu sedikit menamparku dengan kenyataan, namun yang aku pikirkan saat ini adalah mental anakku.

"Yang aku pikirkan hanyalah mental Jovan, bagaimana jika ia sampai dibully di sekolahan karena memiliki dua orang ayah?" tanyaku.

Jay yang mendengar pertanyaanku itu refleks tertawa pelan, "Kau masih belum berubah sampai detik ini, ya? Masih menjadi Y/n yang baik hati dan penurut seperti dulu. Sayang, kita adalah keluarga mafia. Maka kita harus mendidik anak kita dengan keras sehingga dapat menjadi pemangsa di lingkungan mengerikan ini. Tak apa, seorang ibu memang sangat menyayangi anaknya. Tapi percayakan pada aku dan Jake, kami akan mendidik Jovan agar menjadi anak yang pemberani." Jay terlihat begitu menggebu-gebu saat mengatakan itu, namun ada satu hal lagi yang terlintas dalam benakku.

"Bagaimana jika Jake tak ingin berbagi dan hanya ingin menjadi ayah bagi Jovan?" tanyaku, sempat membuat Jay terdiam untuk beberapa saat.

"Kita tanya saja dulu, jika memang ia tak mau maka ia harus rela melepaskanmu dan Jovan untuk menjadi keluargaku, tak ada pilihan lain." sungguh, perubahan dalam diri Jay inilah yang begitu terasa selama beberapa tahun terakhir.

Yang semula tak bisa menolak pinta siapapun menjadi orang yang sangat keras atas keinginannya sendiri, termasuk keinginan memilikiku seutuhnya walau aku masih belum terbiasa adil dalam membagi perhatianku.

"Aku harus menikahimu secepatnya, sebelum Heeseung datang dan memanfaatkan ketidakberdayaan kita lagi. Setelah menikah, kita juga bisa membuat adik untuk Jovan sepuasnya tanpa menunggu anak itu tertidur dulu. Jangan takut sayang, Jovan sudah ku anggap seperti anak sendiri, jadi dengan kehadiran anak dariku, keluarga kita menjadi lengkap." Jay mulai tenggelam dalam rencana masa depan yang telah ia buat, membuatku melepaskan pelukannya untuk dapat menatap atensi kekasihku tersebut.

Setelah melihat bekas luka yang terdapat di alis lelaki itu, aku jadi tersadar kalau kami memanglah seorang mafia. Bukan sepasang kekasih yang tinggal di kompleks perumahan biasa, untuk apa mendengarkan kata orang lain? Toh, kami juga yang menjalani hidup ini.

Ah, satu lagi yang aku sadari dari diriku sendiri. Aku masih belum berubah, hanya fisikku saja yang semakin menua, tapi mentalku masih terjebak di umur 22 tahun saat aku begitu bodoh menyerahkan hidupku untuk menyelamatkan mantan kekasihku bernama Lee Heeseung.

TBC

BAGAIMANA PENDAPAT KALIAN TENTANG YANG Jay KATAKAN?

THE DAY AFTER QUARANTINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang