[S2] 03: Keluarga

253 30 2
                                    

YOU POV

Aku lepaskan ikat pinggang yang menahan kedua tanganku lalu berdiri memandang Heeseung yang menangkup wajah menggunakan kedua tangannya. Ia sempat mengacak rambut kasar seiring kekecewaan yang semakin memenuhi dirinya. Aku sadar ia menangis setelah mengetahui kenyataan sesungguhnya kalau aku telah memiliki anak bukan dari dirinya.

Ya, mau bagaimana lagi, aku tak mungkin mengugurkan kandunganku saat itu. Terlebih lagi, Jay dan Jake sangat menginginkan kehadirannya. Mereka tak keberatan jika dihadirkan satu malaikat kecil sebagai pengikat hubungan kami, walaupun saat itu kami tak tahu pasti siapa bapak dari anak dalam kandunganku. Bisa saja Heeseung, namun mereka sama sekali tak mempermasalahkannya. Mereka murni ingin merawat dan membesarkan anak itu bersama, tanpa rasa cemburu satu sama lain.

"Maafkan aku oppa, aku tak mungkin meninggalkan anakku hanya untuk terus bersama oppa. Ia masih membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya lengkap." ucapku sengaja mengambil jarak dari lelaki itu. Heeseung hanya terus menangkup wajahnya seiring isakan yang semakin terdengar kencang hingga membuat tubuhnya bergetar hebat.

"Kenapa kau meninggalkanku saat itu? Hanya karena kau merasa takut denganku setelah membunuh Sunoo?!! Bukankah aku sering menunjukkan padamu cara aku membunuh seseorang? Andai saja saat itu kau benar-benar kembali padaku, Y/n. Hanya aku ayah satu-satunya bagi hidup anak itu." Heeseung mengutarakan seluruh isi hatinya padaku, ia lepaskan tangan yang menangkup wajahnya lalu menatapku penuh kesedihan.

Heeseung akhirnya menunjukkan sisi lemah yang selama ini aku cari. Walaupun hati kecilku sedikit bergetar melihat lelaki yang selama ini aku cintai menangis hingga tersedu-sedu, namun tangisan Heeseung inilah yang menciptakan lebih banyak rasa bahagia dan puas dalam diriku.

Ternyata, aku tak perlu susah-susah membalas tembakan yang Heeseung berikan padaku, cukup beritahu kenyataan sesungguhnya dapat menghancurkan seluruh perasaan hingga kehidupan lelaki itu. Ya, kelemahannya ternyata masih terdapat padaku.

"Emosimu masih belum stabil, oppa. Kau masih mementingkan ego ketimbang perasaan orang lain, terutama diriku. Aku kan sudah mengingat semuanya dan kembali padamu, malam itu. Tapi untuk apa kau bunuh Sunoo lagi? Kau membuatku sangat ketakutan dan berpikir kalau kamu tidak akan berubah sampai kapanpun!!" aku sedikit menaikkan nada bicaraku saat mengatakan itu, membuat Heeseung semakin sedih dan kesal hingga nekat mengacak rambutnya lagi. Ia masih menikmati kesedihan mendalam yang ia rasakan dengan menangis kencang, membuatku tersadar kalau kesempatan ini dapat aku gunakan untuk mencoba kabur darinya.

Baru aku ingin berjalan mengendap untuk mengambil tasku,

"Pergilah!" tapi, tunggu.

"Pergilah sebelum aku berubah pikiran!" Aku memang tak salah dengar, Heeseung memintaku pergi dari kamar ini setelah aku rasa tak ada jalan keluar lagi untuk melepaskan diri dari lelaki itu.

Langsung aku ambil tas milikku dan membuka pintu ruangan, namun saat aku ingin keluar dari kamar tersebut, para anak buah Heeseung menahan ku sampai menodongkan pistol ke arahku.

"Biarkan dia pergi!!" setelah mendapat persetujuan dari Heeseung, langsung aku lepaskan paksa tangan anak buahnya yang menahanku untuk turun menuju lantai utama hotel tersebut.

Aku berlari menjauhi hotel tersebut, kemudian memesan sebuah taksi menuju markas tempat kami tinggal, dengan memperhatikan sekelilingku tentunya. Takut-takut ada anak buah Heeseung yang mengikutiku dari belakang.

Aku juga tak berhenti pas di depan markas kami. Untuk mengalihkan perhatian, aku sengaja berjalan kaki melalui lorong yang kecil nan gelap, hingga sampailah aku di sebuah rumah yang berdekatan dengan markas kami. Markas kami adalah sebuah gedung berlantai lima yang berkedok sebagai motel.

Aku masuki halaman rumah tersebut. Baru aku ingin membuka pintu ruangan, suara teriakan anak laki-laki terdengar hingga keluar rumah. Aku yakin anak itu dapat melihat bayanganku dari jendela rumah yang memang sengaja dibuka.

"Mama~" anak itu adalah anak kandungku bernama Jovan Sim.

Jovan terlihat sangat gembira saat aku membuka pintu ruangan. Ia bahkan langsung menghambur ke dalam pelukanku erat sambil berkata, "Kata daddy, mama mau nginap di rumah teman mama. Masa mama ninggalin Jovan sendirian?" Seperti mengadu atas bujukan yang Jake berikan untuk anak kami. Jake yang menyadari keberadaan ku pun langsung membawaku ke dalam pelukannya sambil memperhatikan sekujur tubuhku.

"Kamu tak papa kan?" tanya Jake begitu khawatir. Aku berikan senyuman manis untuknya lalu menganggukkan kepalaku, "Aku baik-baik saja." jawabku yang langsung mendapat kecupan mesra di bibir oleh lelaki itu.

Tak berselang lama, wanita tua yang merupakan warga pribumi Vietnam bernama ibu Hà Phương menghampiri kami. Ia adalah kerabat yang aku sebutkan kami, bersama seorang anak kecil yang tak lain adalah cucu sekaligus teman Jovan bernama Hải Anh.

"Mama, untuk Jovan mana?" tanya anakku begitu manja. Ia bahkan sering kali cemburu pada ayahnya sendiri. Langsung aku kecup kedua pipi tembam anakku tersebut, yang membuat tawanya pecah. "Cium di bibir juga." pinta Jovan sama seperti ayahnya, sangat manja.

"Mama sedang pakai lipstick sayang." dan lipstik itu bahkan sedikit tertinggal di wajah Jovan setelah ku cium pipinya. Jovan langsung menampilkan ekspresi kecewa sambil memanyunkan bibirnya, "Daddy saja cium di bibir, masa Jovan tidak boleh?".

Kecemburuan ini yang membuat tawa Jake pecah sambil mengacak rambut anak kami. Aku sempat bertukar tatapan dengan Jake sebelum aku cium bibir anakku itu dengan melipat bibirku ke dalam. Yang penting lipstik di bibirku tak mengenai anakku.

Setelah itu, gantian Jake yang mencium wajah anak kami lalu mengambil alih tubuh Jovan di gendonganku, "Sini sayang, sama daddy aja, mama capek tuh baru pulang". Setelah Jovan setuju untuk berpindah gendongan, langsung aku berpamitan dengan pemilik rumah ini.

"Terima kasih bu telah menjaga Jovan. Kami pamit dulu yaa." ucapku sambil membungkukkan badan memberi salam pada bu Hà Phương beserta cucunya. Jake juga melakukan hal yang sama, setelah itu giliran anak kami yang tanpa diminta siapapun, "Nek, Jovan pulang dulu yaa. Besok kita main lagi Hải Anh. Dadah~" pamit Jovan sambil melambaikan tangannya pada teman sebayanya tersebut.

Setelah keluar dari rumah tersebut, Jake lingkarkan tangannya di pinggangku sambil menggendong anak kami menggunakan tangan yang lainnya. "Jay dimana?" tanyaku yang langsung Jake jawab, "Dia sedang bersama bos untuk membicarakan permasalahan yang tadi." oh tuhan, semoga tak terjadi apapun padanya.

"Kok kamu bisa disini?" tanyaku lagi karena biasanya bos akan selalu memanggil kami bertiga tak hanya satu orang sebagai perwakilan. "Kami sudah menceritakan segalanya pada bos dan bos meminta aku kembali untuk menjaga Jovan sedangkan ia membantu Jay memikirkan jalan keluar dari masalah ini, eh ternyata kamu sudah disini." jujur Jake sukses membuat langkahku terhenti.

Langsung aku ambil handphone milikku untuk menelpon seseorang, tak perlu menunggu lama panggilan tersebut langsung tersambung "Sayang, kau dimana?" tanya Jay terdengar begitu terkejut.

"Aku sudah di markas bersama Jake dan Jovan. Pulanglah, masalahnya sudah selesai." setelah aku mengatakan itu, Jay langsung mematikan panggilan kami yang membuat tawaku pecah. Pasti lelaki itu langsung bergegas pulang untuk mendengar penjelasan ku.

"Mama, Jovan mau tidur sama mama dan papa Jay malam ini." ucapan anakku itu sukses mengalihkan perhatianku dari ponsel milikku. Jake yang mendengar keinginan anaknya tersebut pun bertanya, "Loh, kan malam ini Jovan mau dibacakan cerita baru sama daddy." ujar Jake seperti menggoda anak kami. Ia sengaja mengelus permukaan perutku yang dipeluknya. Aku pun kembali melingkarkan tanganku di pinggang Jake lagi.

"Iya mau, tapi Jovan sudah lama ga tidur sama papa Jay. Jovan kangen papa Jay." oh tuhan, beginilah dilema Jovan yang memiliki dua papa.

TBC

THE DAY AFTER QUARANTINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang