12: Tukar

430 52 2
                                    

YOU POV

Aku hembuskan napas kasar sambil berusaha menenangkan diriku sendiri yang tak kunjung berani membuka pintu kamarku. Tak bisa aku pungkiri kalau aku masih merasa takut dengan bentakan Jake. Aku takut dia memarahiku lagi tapi ini memang kesalahanku.

Tak seharusnya aku memanggil dia dengan sebutan daddy, seharusnya aku bisa mengendalikan diriku sendiri walaupun dalam keadaan yang sulit. Lalu, sampai kapan aku akan berdiri disini? Bersandar di tembok depan kamarku seperti orang bodoh. Kamu harus meminta maaf Y/n, sebelum Jake pergi meninggalkanmu, yakinku dalam hati.

Aku tarik napas dalam sambil memberanikan diri membuka pintu kamarku. Suasana canggung menyelimuti saat aku masuk ke dalam kamar tersebut, Jake hanya diam, memandang kosong televisi yang menyala.

Aku hampiri kekasihku tersebut sambil terus menundukkan wajahku. "Jake, maafkan aku." ucapku pelan namun tak ingin menatap matanya. Aku tahu Jake sedang memperhatikanku saat ini, dia tarik tanganku untuk mendudukkan diri di sebelahnya.

Dia bawa tubuhku ke dalam pelukan hangat, terasa sangat berbeda saat Jake marah denganku tadi. Aku balas pelukan Jake dengan ragu sambil mengigit bibir bawahku sendiri. Aku tak ingin dia tahu kalau aku sedang menangis saat ini.

"Maafkan aku juga." suara lelaki itu bergetar seperti menahan tangis. Tidak, seharusnya dia tak boleh merasa sedih karena ini memang kesalahanku. Dengan cepat aku lepaskan pelukan kami untuk menangkup wajah tampan kekasihku.

Dia memang tak menangis tapi hampir menagis saat ini, "Jay sudah menceritakan segalanya tentang hubungan kita dulu. Kamu, aku dan dia suka berhubungan bersama tapi aku sungguh tak bermaksud memanggilnya. Entah mengapa panggilan itu terucap begitu saja dari bibirku. Bukan berarti aku mengingat Jay saat bermain bersamamu." jelas ku sambil menatap mata Jake agar ia percaya. Lelaki itu hanya diam, tak bisa ditebak bahkan melalui tatapan dan mimik wajahnya.

"Apa kamu terbayang wajah lelaki lain? Jujur?" tanya lelaki itu sambil melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku gigit bibir bawahku sendiri, kalau aku berkata jujur, bisa saja akan Jake semakin marah denganku tapi jika terus aku sembunyikan, tidak akan baik untuk hubungan kami. Aku hanya takut dia pergi meninggalkanku.

Aku menganggukkan kepalaku lalu membuang tatapan darinya, "Siapa?" tanya Jake tiba-tiba.

"Lelaki yang hampir menculikku tadi, rahangnya tegas, senyumnya manis, dia memiliki bibir yang indah. Aku terus terbayang wajahnya, sepertinya dia pernah-"

"Jangan pernah temui dia atau membicarakannya lagi padaku." sela Jake penuh penekanan di setiap katanya. Aku mengangguk pelan walau dalam hati masih merasa tak rela melupakannya begitu saja. Entahlah, seperti hatiku menuntun aku kembali ke lelaki itu padahal aku tak mengingatnya.

"Dia siapa?" tanyaku. Kini, Jake beralih menggenggam kedua tanganku erat. "Dia berbahaya, dia begitu terobsesi padamu makanya kamu harus menjauh darinya. Jika kamu mengingat potongan kejadian saat bersama lelaki itu, berarti kamu lakukan itu atas paksaan lelaki itu. Dia sering memukul bahkan menyiksamu. Aku dan Jay sudah berusaha agar membuatmu jauh darinya. Ingat, jangan mengingat atau mencari tahu tentangnya lagi setelah ini." pinta kekasihku itu dengan sangat. Aku mengangguk pelan sebagai jawaban untuknya kemudian tertawa malu saat Jake cubit pipi kananku dengan lembut. "Good girl." pujinya.

Jake mengajakku berbaring di atas kasur lagi dan aku mengikutinya begitu saja. Aku berbaring dalam posisi memeluk tubuh lelaki itu, tiba-tiba teringat akan sesuatu. "Panggilan master membuatmu terlihat mengerikan, sayang." jujurku.

Jake tertawa gemas lalu bertanya, "Benarkah? Menurutmu aku cocok dipanggil apa?" tanya lelaki itu. Dia bawa wajahku untuk menatap matanya sambil mengelus daguku lembut. "Eum, babe, bee? Eumm baby? Entahlah tapi jangan master, aku takut." gumamku manja.

THE DAY AFTER QUARANTINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang