Aurora terbangun dengan kepalanya yang terasa berdenyut-denyut nyeri. Rasanya seperti ribuan paku kecil menusuk dari dalam tengkoraknya.Rasa sakit itu membuat setiap detik terasa seperti siksaan baginya, dengan tubuh yang terikat erat pada kursi tua yang kotor juga lakban hitam yang membungkus mulutnya erat, membuatnya hanya bisa mengeluarkan suara-suara teredam yang tak berarti.
Gadis itu pun mulai mengedarkan pandangannya yang masih samar-samar, melihat ruangan di sekelilingnya yang gelap, dengan sebuah cahaya lampu redup di sudut ruangan.
Tercium juga aroma tajam dari bahan kimia memenuhi ruangan itu, membuat Aurora merasakan mual yang tak tertahan. Di tambah suara gemericik yang tak bisa dijelaskan menambah kejanggalan suasana, seolah ada sesuatu yang mengintainya dari balik kegelapan.
Aurora merasa seperti dirinya tenggelam dalam kegelapan yang mencekam, terjepit dalam ketidakberdayaan dan rasa takut yang perlahan melanda dirinya yang tengah terikat itu.
Setiap usaha untuk bergerak hanya memperburuk penderitaannya, tali yang menjeratnya semakin menekan setiap kali ia mencoba untuk menggerakan tubuhnya, seolah-olah siap untuk merobek kulitnya.
Rasa putus asa dan ketidakberdayaan pun menyelimuti Aurora, dan di tengah kepanikan itu, hanya satu nama yang terus berputar di pikirannya—Teddy.
Tiba-tiba, langkah berat yang tidak dikenal mendekat, mengguncang kegelapan dengan kehadirannya yang menakutkan dengan sebuah pistol yang di arahkan tepat di depan tubuh gadis itu.
Pria itu berdiri tepat di hadapan Aurora dengan sikap dingin. Suaranya yang dalam dan berat mengisi ruang yang menggema itu dengan nada sinis. "Cup,,,cup,,,, cup, jangan menangis ibu dokter," katanya.
Aurora menatap pria itu dengan mata yang dipenuhi air mata yang menggenang, hatinya bergetar karena ketakutan yang bahkan tidak bisa ia kendalikan.
Kepasrahan seperti menggantikan harapannya, naum jauh di dalam lubuk hatinya, dia terus berharap bahwa Teddy akan muncul seperti pahlawan dalam cerita gelap yang pernah ia baca.
Dalam kegelapan dan ketidakpastian, harapan akan penyelamatan Sang Mayor itu adalah satu-satunya cahaya yang memandu dan memberi kekuatan untuk terus bertahan.
Saat pria itu mulai bergerak mendekat, Aurora merasakan getaran ketakutan yang semakin mendalam, ia berusaha keras untuk menyembuntikan rasa takutnya itu, meskipun rasa sakit dan ketidakberdayaan hampir membuatnya menyerah.
Lagi-lagis gadis itu merasa, bahwa setiap detik terasa seperti sebuah ujian, dan di tengah kegelapan yang mencekam ini, dia terus menggantungkan harapan pada kemungkinan bahwa Teddy akan datang tepat waktu untuk menyelamatkannya dari teror yang terpampang di hadapannya itu.
"He will come, and he will definitely kill you" Bisik Aurora di dalam hati, sembari memandang lekat lelaki yang tengah mengacungkan pistol di hadapannya
***
Di tengah kabin pesawat yang terang dan tenang, Teddy duduk di kursinya dengan tangan yang menggenggam erat.
Pikirannya berputar-putar, dipenuhi dengan kekhawatiran yang semakin mendalam tentang kondisi Aurora yang tak Mayor itu ketahui bagaimana.
Teddy tidak bisa berhenti membayangkan situasi berbahaya yang mungkin dihadapi gadisnya itu, membuat rasa cemas yang menghantuinya semakin memuncak seiring waktu.
Ajif yang kala itu duduk di samping Sang Mayor, memperhatikan perubahan ekspresi Teddy. Dia bisa merasakan khawatiran dan kecemasan yang menyelimuti pikiran Sang Mayor di sebelahnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Misi Cinta di Antara Tugas
Dla nastolatkówMayor Teddy Rarendra Wijaya, seorang ajudan terkemuka dari Menteri Pertahanan Republik Indonesia, hidup di bawah bayangan ketegangan dan keamanan negara. Namun, ketika cinta menghampirinya, dunianya yang teratur terguncang. Teddy, seorang pria yang...