12. Feelings that start to grow

1.7K 55 1
                                    

Pagi hari esoknya, Alin tampak sudah siap dengan seragam sekolahnya, kedua matanya membengkak, karena semalaman menangis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi hari esoknya, Alin tampak sudah siap dengan seragam sekolahnya, kedua matanya membengkak, karena semalaman menangis. Memang disaat dia datang bulan begini perasaannya sangat sensitif, di tambah semalam nomor ponsel Alvian sedang sibuk, setelahnya nomor lelaki itu tidak aktif lagi.

"Mata lo kenapa?" Rafa mencekal pergelangan tangan Alin yang tadinya akan lewat di depan kamarnya.

Alin menatap Rafa dengan tatapan lelahnya, cowok itu masih belum mandi, Rafa masih memakai celana pendek dan lelaki itu pun bertelanjang dada. Alin takut, lama-lama dia terbiasa melihat pemandangan indah ini, tubuh Rafa begitu proposional, ototnya tidak berlebihan, sesuai dengan umur lelaki itu.

"Lepasin tangan gue."

"Gue tanya mata lo kenapa? Lo nangis?" Rafa mempererat genggamannya, menatap tajam istrinya. Masih teringat jelas wajah bodoh Alvian tadi malam, dan sekarang dia melihat wajah sembab Alin, mungkinkah cewek itu menangis karena Alvian?

"Gak ada urusannya sama lo. Lepasin." Alin mendesah kasar, mendongak demi melihat wajah rupawan suaminya.

"Jawab gue, Al. Lo nangisin cowok sampah lo itu?!"

Kedua mata Alin membulat.
"Maksud lo apa?" Apa-apaan cowok ini? Apakah Rafa ingin mengajaknya berdebat di pagi hari?!

"Pacar lo itu yang buat lo kayak gini, hm? Mulai sekarang lo harus putus sama dia, dia gak baik buat lo, Al. Gue mau kalian putus."

Alin segera menyentak kasar tangannya sehingga genggaman cowok itu terlepas, dia mendekat, mendongak tinggi menatap Rafa dengan tatapan nyalang.
"Gue emang istri lo, tapi gue gak mau di atur. Masalah gue bukan urusan lo."

Rahang Rafa mengetat, dia tidak terbiasa mendapatkan perlawanan atau bantahan, sejak dia lahir di dunia seluruh apa yang ia ingin telah tersaji di depan mata, pun apapun yang tidak ia mau maka harus segera di turuti.

"Nurut aja apa kata gue. Putusin cowok anjing itu sekarang juga."

"Lo apa-apaan sih? Lo gak ada hak buat nyuruh-nyuruh gue mutusin Alvian. Gue cinta sama dia."

"Putusin Alvian, kalo gak gue gak izinin lo keluar dari apartemen ini." Rafa berkata serius, membuat Alin berdecak lalu terkekeh geram.

"I don't care. Kalo gue gak nurut lo mau apa? Ngacem gue, paling lo kasih gue hukuman trus perkosa gue kan."

Rafa menatap Alin dengan tatapan dingin.
"Lo mau putus sama dia atau gak?"

"Gak, gue gak akan putus sama Alvian semudah itu."

"Masuk ke kamar, Alin."

Kedua mata Alin membulat, apakah Rafa tidak melihat ia sudah siap dengan seragam sekolah?
"Lo gila? Gue mau sekolah.."

"Go to your room, now!"

Alin terkejut mendengar bentakan Rafa, namun begitu dia tetap bersikukuh untuk tidak memperdulikan ucapan cowok itu.
"Gue gak mau."

Sincere LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang