Bayang 38 Cahaya Kunang-Kunang
Air menetes turun dari ujung rambutku menuju tanah. Tidak pernah kusangka akan basah kuyup untuk kedua kalinya, dan juga di tempat yang sama. Berulang kali aku terbatuk untuk mengeluarkan air yang memaksa masuk ke tenggorokan.
Tadi itu menyeramkan.
Jika ada kata-kata yang bisa menggambarkan sesuatu yang lebih dari 'menyeramkan', aku pasti akan menggunakannya. Baru kali ini aku melihat air sehitam dan segelap itu. Tidak ada cahaya berkilauan yang dipancarkan oleh bulan. Saat aku mencoba untuk naik pun, aku seperti dikunci dan susah bergerak—mungkin karena Mas Giandra yang memegangku dengan erat dan berusaha menjadikanku sebagai pijakan untuk bisa mencapai permukaan air.
Aku mendongak dengan cepat dan menatap tajam Mas Giandra yang terus terbatuk-batuk. entah berapa banyak air yang masuk ke mulut dan hidungnya. Melihat hal itu, aku meredam emosi yang sebelumnya kurasakan. Aku sadar jika Mas Giandra sendiri juga tidak ingin terjatuh ke dalam air telaga, apalagi di malam hari.
"Kalian tidak apa-apa?" tanya Mahesa dan Kartika khawatir.
Aku beralih menatap mereka dan mengangguk pelan, lalu berusaha bangkit dengan baju yang basah dan tas yang terasa berat. Selimut yang Ibunda berikan pasti menyerap banyak air telaga.
"Apa sebaiknya berhenti dan menyalakan api saja? Tidak mungkin pergi dengan badan basah kyup. Bisa sakit nanti," tawar Mahesa. Aku tidak tahu berapa lama lagi malam akan bertahan sebelum pagi datang mengambil alih. "Jangan memaksakan diri, Chandra," ucap Mahesa yang terus menatapku. "Mas Giandra tampaknya juga tidak baik-baik saja."
Apa yang dikatakan oleh Mahesa memang benar adanya. Mas Giandra berjongkok dengan memeluk tubuhnya yang menggigil karena dingin, bahkan bibirnya pun juga ikut bergetar. Tidak ada api yang bisa menghangatkannya, obor yang tadi aku dan ia pegang sudah terbawa oleh arus air telaga, mungkin sudah sampai tengah telaga sekarang.
"Iya, tidak perlu terburu-buru, Chandra," sambung Kalingga. Kulihat lengan bajunya basah karena telah membantu menarik Mas Giandra untuk naik ke permukaan.
Aku pun mengangguk setuju dan berusaha untuk tidak egois. Melihat hal itu, kami pun menyingkir ke bawah pohon dan duduk di sana. Mahesa membuat api unggun yang bisa menghangatkan kami semua. Kartika membantuku mengeluarkan semua barang-barang yang ada di dalam kantongku, meremas selimutku yang basah, dan menjajar barang-barang lain di atas tanah agar kering.
Aku melepaskan atasanku yang berat dan basah, menyisakan celana dan sarung tenun yang masih terpakai. Saat hendak melepas sarung tenun yang melingkari pinggangku, aku mengurungkan niat karena mengingat perkataan Ibunda.
'Apa pun yang terjadi, jangan pernah melepaskan kain ini.'
Entah alasan apa yang membuat beliau melarangku. Namun, karena Ibunda yang berkata seperti itu, memangnya mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa membantahnya.
Kartika membagikan padaku dan Mas Giandra selimut miliknya dan milik Mahesa. Aku berterima kasih dan meminta maaf karena sudah merepotkan mereka berdua.
"Mas Giandra, lain kali tolong berjalan dengan hati-hati dan perhatikan langkahmu," pesanku dalam diam sembari menatap kobaran api unggun yang menghangatkan pipiku, sepertinya aku duduk terlalu dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chandra
Fantasy"Jangan main kalau matahari mulai terbenam, nanti kamu bisa hilang! Apalagi kalau sampai masuk ke Alas!" Bukan untuk menakut-nakuti anak kecil agar pulang sebelum senja, tetapi itu memang pantangan bagi seluruh penduduk Dusun Pedhukul tidak peduli u...