"Jangan main kalau matahari mulai terbenam, nanti kamu bisa hilang! Apalagi kalau sampai masuk ke Alas!"
Bukan untuk menakut-nakuti anak kecil agar pulang sebelum senja, tetapi itu memang pantangan bagi seluruh penduduk Dusun Pedhukul tidak peduli u...
Meski tidak benar-benar mengatakan perasaannya, aku memahami Mahesa. Semua orang pasti akan sedih dan merasa ikut sakit saat orang yang dicintainya terbaring tidak berdaya. Untung saja Mahesa masih bisa menjaga kewarasannya.
Ibunda dan ibu Danastri yang melanjutkan obrolan mereka, sementara aku terus menatap Danastri. Aku sedikit terkejut saat Danastri melenguh kesakitan dengan menggerakkan badannya secara perlahan. Ia terlihat sangat tersiksa. Apa badannya juga sakit saat digerakkan meski hanya sedikit saja?
Tanpa sengaja, aku mendapati gelang emas yang melingkari kaki Danastri yang tersingkap oleh selimut. Itu cantik dan cocok untuknya. Ini pertama kali aku melihatnya. Mungkin aku memang kurang memperhatikan dengan teliti atau mungkin itu hadiah baru dari Kepala Dusun agar Danastri semangat dan cepat sembuh.
Aku kembali menatap Danastri dan berbicara dengan suara kecil, sekecil mungkin agar dua orang wanita di belakangku tidak ada yang mendengarnya, tetapi tetap berharap Danastri bisa mendengarnya.
Dengan sedikit membungkuk, aku membuka mulut. "Cepat sembuh, ya. Mahesa mengkhawatirkanmu. Kami semua mengkhawatirkanmu."
Sudut mata Danastri bergerak. Aku segera berdiri tegak, takut-takut jika ia terbangun dari tidurnya karena suaraku yang terlalu keras. Namun, matanya perlahan-lahan mulai terbuka.
Keringat dingin muncul di dahi dan aku tanpa sadar juga sampai menahan napas. Mataku dan mata sayu Danastri bertemu. Ia berkedip beberapa kali, sementara aku memasang wajah dengan senyum kaku.
"... Mahesa?"
Mulut itu terbuka pelan dan membisikkan satu nama. Aku menoleh sedikit ke belakang. Beruntungnya Ibunda dan Ibu Danastri cukup jauh berbincangnya. Itu karena mereka menyadari jika suara mereka terlalu keras saat sedang asyik bercerita dan itu juga memberikan keuntungan bagiku. Aku bisa berbicara diam-diam dengan Danastri yang terbangun.
Aku kembali pada Danastri, lalu mengangguk. "Iya, Mahesa. Dia mengkhawatirkanmu."
Danastri yang masih lemas menatap langit-langit. Ia diam dan hanya berkedip beberapa kali, seperti sedang berpikir dengan alis mengerut. Aku takut jika dia jadi terlalu memaksakan diri. Aku ingin memintanya melanjutkan istirahat, tetapi tidak ada satu kata yang keluar dari mulut.
Rasanya aku seperti ingin membiarkan Danastri untuk bangun meski sebentar saja. Melihatnya membuka mata, rasanya Danastri jadi lebih terlihat hidup.
"Ma .. hesa ...," panggil Danastri. Tangannya bergerak lemah seolah ingin meraihku. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca hingga air mata berkumpul di ujung pelupuk matanya.