Bayang 31 Hanya Punya Kamu

409 53 16
                                    

Chandra © Fukuyama12 (2023)

Genre: Fantasi Gelap Nusantara

.

.

Bayang 31 Hanya Punya Kamu


"Apa yang kamu lakukan di sana, Chandra?"

Aku menoleh pada Ibunda yang tengah memasak ayam untuk sarapan. Memang sedari aku berputar-putar di sini, aku bisa merasakan tatapan Ibunda sesekali beralih padaku, seolah-olah heran dengan apa yang sedang aku lakukan. Pada akhirnya, Ibunda pun mengutarakan rasa penasarannya dengan bertanya padaku.

"Kamu terus melihat ke langit-langit, berdiri di situ, lalu pindah ke sana, lalu kembali lagi ke situ," lanjut Ibunda yang heran dengan tingkahku.

"Hanya memeriksa saja, Ibunda. Ibunda bagaimana? Apa masih merasa pusing?" Bukannya menjawab dengan lengkap, aku justru memberikan pertanyaan balik pada Ibunda yang saat ini sedang memegang kepalanya.

"Agak berat, tapi masih bisa Bunda tahan."

"Kalau sementara masak di luar dulu bagaimana? Mungkin karena pengap, kepala jadi berat." Ibunda tampak memikirkan usulanku. Aku menambahkan, "Kalau Ibunda mau, nanti biar Chandra yang angkat keluar barang-barangnya."

"Tapi nanti akan susah, repot bolak-baliknya." Ibunda tampak enggan dan kembali mengaduk masakannya. Aku diam dan tidak berani melanjutkan ucapanku. Kalau Ibunda sudah tidak mau, aku tidak akan memaksa lagi. Kalau memang begitu, aku harus cari cara lain.

Bruk!

Aku menoleh cepat saat mendengar suara benda jatuh yang cukup berat. Sendok sayur yang tadi Ibunda gunakan untuk mengaduk kari tergeletak di atas tanah. Tidak jauh dari situ, ada Ibunda yang terkapar tak berdaya.

"Ibunda!" Napaskutercekat dan dengan segera aku berlari menuju wanita itu.

Wajah Ibunda pucat dan alisnya mengerut. Padahal tadi Ibunda baik-baik saja, masih mengobrol seperti biasanya padaku meski sedikit mengeluh tentang sakit di kepalanya, tetapi beliau tiba-tiba jatuh seperti ini.

"Bunda?" tanyaku sekali lagi.

Merasa tidak ada jawaban dari Ibunda yang belum juga sadar, aku membawa Ibunda ke kamar dan mengistirahatkannya sementara. Lalu, aku kembali lagi ke dapur, memeriksa masakan Ibunda. Kari dengan uap mengepul yang hampir matang kuangkat dan kubawa ke luar, tepatnya di teras rumah. Tidak ada pikiran untuk tetap meletakkannya di sana atau di tempat kami biasa makan.

Akan sayang jika makanan yang Ibunda masak membasi lagi sebelum sempat disantap.

Aku menggelar tikar, lalu kembali ke dalam untuk memindahkan Ibunda ke luar. Meski matahari baru muncul sedikit dengan mengubah warna langit menjadi keunguan, meski hampir tidak ada warga yang keluar untuk berkegiatan, setidaknya saat ini sudah tidak dikatakan sebagai 'malam'.

Tak lupa aku memberikan selimut pada Ibunda agar tidak terkena angin dingin pegunungan. Udara cukup dingin untuk membuat uap keluar dari mulut. Namun, dingin yang sejuk ini lebih baik daripada berada di dalam rumah dengan aura yang berat dan aneh. Lagi pula, matahari akan segera terbit sepenuhnya. Jadi, tidak ada yang perlu ditakutkan.

Yang perlu diwasapadai saat ini adalah apa yang ada di dalam rumah.

Aku melangkah masuk dan suasana yang tidak enak langsung menyapa semua indraku. Keheningan tanpa batas menyambut telinga. Tatapan dari sesuatu yang tidak kuketahui terasa begitu tajam. Semakin aku berjalan masuk, terutama menuju area belakang rumah tempat Ibunda memasak, dadaku semakin terasa berat.

ChandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang