"Jangan main kalau matahari mulai terbenam, nanti kamu bisa hilang! Apalagi kalau sampai masuk ke Alas!"
Bukan untuk menakut-nakuti anak kecil agar pulang sebelum senja, tetapi itu memang pantangan bagi seluruh penduduk Dusun Pedhukul tidak peduli u...
Memejam mataku dengan erat, padangan tubuh yang basah kuyup dan dinginnya air yang menyengat segera menghantuiku. Aku akan tidak ada bedanya dengan Kartika. Namun, tarikan kuat kurasakan pada pakaianku dan semua bayangan buruk dengan cepat menghilang.
Aku menoleh dan mendapati Mahesa sedang menahan badanku agar tidak terjatuh dengan cara mencengkeram bagian belakang atasanku. Danastri menutup mulutnya karena terkejut, sepertinya aku sempat mendengar pekikan kecil dari mulutnya.
"Hati-hati, Chandra!" keluh Mahesa. Aku tersenyum miring dan meminta maaf melalui tatapanku.
Kami kembali menoleh pada Kartika. Setelah diperhatikan lebih baik lagi, ternyata memang tidak mungkin bagi tanganku untuk menjangkau gadis itu. Sepertinya, meski aku memanggilnya dengan keras, ia tidak akan menoleh. Mata itu memang terbuka, tetapi memandang jauh ke arah mata air dan pemandangan yang ada di depannya dengan tatapan kosong.
Aku memutuskan untuk melepas alas kaki dan memutuskan untuk sedikit masuk ke dalam air. Memilih batu yang paling tinggi dan besar sebagai pijakan, aku mulai menapak. Sengatan air dingin terasa di kulit kakiku meski tinggi airnya tidak sampai setengah betis. Namun meski sudah hampir mengambil dua langkah, Kartika tidak kunjung berada di dekatku.
Aku menoleh ke belakang, memperhatikan bagaimana reaksi Mahesa dan Danastri. Seperti yang aku duga, mereka tampak khawatir dan memintaku untuk segera memanggil Kartika. Aku mengangguk dan kembali melangkah.
Hanya ada sisa sedikit ruang untuk kakiku tetap berpijak, selanjutnya ada batu-batu lain yang lebih rendah. Aku kembali mengangkat kaki dan memutuskan untuk melangkah. Baru saja menapak, sebuah tangan putih muncul dari dalam air dan dengan cepat mencengkeram pergelangan kakiku.
Kulit itu seputih awan dan dinginnya menusuk seperti angin dini hari yang membawa kabut. Jari jemarinya lentik dan kurus, lebih indah dari milik Danastri, tetapi berukuran lebih besar. Belum sempat sadar dari kejutan, aku kembali tercekat saat pandangan mataku berubah menjadi pemandangan langit sore, tulangku seperti melayang, pijakanku menghilang sepenuhnya.
Yang terdengar sesaat sebelum aku sadar adalah teriakan Mahesa dan Danastri yang memanggilku. "CHANDRA!"
Byur!
***
Dingin menyeruak masuk ke dalam tubuh sampai pada tulang dan menyayatku seperti pisau. Aku bergerak panik seperti anak burung yang tercebur dalam sungai dengan rasa takut dimakan buaya. Air tanpa meminta izin segera berebut masuk melalui hidung dan mulutku yang terbuka.