Bayang 36 Kafilah Dagang

437 63 3
                                    


"Ini tidak mungkin." Mas Giandra melenguh tidak percaya. Ia menoleh kepadaku dengan cepat. Ia berjalan cepat ke arahku dan memegang pundakku dengan kencang. "Chandra, katakan jika apa yang kulihat memang tidak benar!"

"Apa Mas Giandra melihat orang-orang juga?" tanyaku.

Kami bersembunyi di balik semak-semak dan mematikan api obor agar tidak ketahuan. Di hadapan kami berempat, terlihat jelas manusia-manusia yang sedang berjalan mondar-mandir. Pembeli dan penjual saling berbincang dan menanyakan apa yang penjual itu jajakan. Transaksi jual-beli berlangsung di hadapan kami selayaknya pasar besar.

Ini tidak seperti pasar yang biasa terjadi seminggu sekali, rasanya seperti kafilah dagang yang datang membawa barang belanjaan yang berbeda dari biasanya, menawarkan berbagai macam aset yang tidak bisa didapatkan dari tempat manapun, yang tentu saja mengundang orang-orang dari berbagai tempat untuk datang, meski hanya untuk melihat-lihat.

"Chandra! Bisa-bisanya kamu tenang di saat seperti ini! Memangnya kamu pikir ini pagi hari? Apa yang ada di sana itu tidak mungkin terjadi pada malam-malam begini dan tepat di tengah hutan!"

Aku melirik orang-orang yang sedang berkumpul dan bercakap-cakap. Setelah mengikuti arah obor-obor yang menyala, kami semua mendapati sekumpulan manusia sedang bertransaksi di tengah lapangan yang berada di tengah hutan.

"Aku tidak pernah mendengar ada pasar malam dari orang-orang," komentar Mahesa yang berjongkok di sebelahku, menyembunyikan badan besarnya di balik semak-semak.

Demi kesuksesan persembunyian kami memantau mereka, kami bahkan rela mematikan obor dan bergabung bersama kegelapan malam.

"Mungkin kita tidak pernah mendengarnya karena tidak pernah ada yang masuk ke hutan malam-malam," ucapku mengutarakan apa yang ada dalam pikiranku.

Mereka diam seolah menyadar jika apa yang kukatakan itu masuk akal meski sebenarnya aku juga tidak tahu kebenarannya.

"Lalu sekarang bagaimana? Tetap mau mencoba untuk bertanya pada mereka?" tanya Mahesa sekali lagi.

Aku diam memeluk lutut dan berusaha keras untuk berpikir bagaimana langkah selanjutnya. "Mungkin sebaiknya kita bertanya saja. Kita kan juga tidak tahu apa yang terjadi pada mereka dan tidak tahu harus pergi ke mana. Mungkin mereka tahu sesuatu."

Aku berdiri dan kami saling bertukar pandangan berpandangan. Mahesa mengambil napas panjang dan ikut berdiri di sebelahku, lalu diikuti dengan Kartika. Kini, yang belum mengubah pikirannya adalah Mas Giandra yang masih betah berjongkok.

"Bagaimana, Mas Giandra?" tanyaku memastikan sembari menepuk nyamuk-nyamuk yang mulai berkumpul dan menggigit kulitku.

Mas Giandra berdecak dan akhirnya ikut bangkit meski dengan wajah yang tertekuk. ia terlihat sangat kesal tetapi tidak bisa melakukan apa-apa. Karena semua sudah sepakat, aku melangkah ke luar semak-semak yang sebelumnya menjadi tempat kami bersembunyi.

Tepat setelah aku melangkahkan kaki memasuki gerombolan manusia itu. Aku mulai merasakan keganjilan. Padahal ketika bersembunyi, jelas sekali aku melihat mereka sedang berbincang-bincang selayaknya pasar pada umumnya. Anak kecil berlarian membawa jajanan dan mengejar teman-temannya. Namun kali ini, pasar anehnya hening. Tidak terdengar satu suara apapun, seolah orang-orang yang ada di sini bisu dan berbincang hanya melalui tatapan.

Orang-orang tetap berlalu lalang, pembeli, penjual, pengangkut barang-barang. Kegiatan pasar tetap ada meski tidak ada satu pun suara.

Bahkan jangkrik pun seperti enggan untuk ikut bernyanyi. Padahal biasanya aku bisa mendengar suara jangkrik bahkan dari dalam kamar. Namun kini, suara serangga malam tidak ada yang terdengar meski aku berada di tengah hutan.

ChandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang