Bayang 34 Penyusup Malam

393 54 6
                                    

Karena ini masih draft awal, jadi mungkin banyak kesalahan tanda baca, kalimat plot hole, dan ketidak-konsisten-an dalam cerita. Mohon pengertiannya, terima kasih! 💙

Chandra © Fukuyama12 (2023)

Genre: Fantasi Gelap, Nusantara


"Makanannya sudah kamu bawa, 'kan?" Aku mengangkat kantung yang ada di tangan kananku. "Bagaimana dengan obornya?" Mahesa mengangkat beberapa bambu yang sudah diisi dengan serbuk getah damar kering siap dipakai. "Bagaimana dengan selimut?"

Aku menarik napas panjang. "Sudah terlipat rapi dalam kantong, Ibunda. Maaf, bisakan Ibunda berhenti bertanya ini-itu? Ibunda sudah mengulangi pertanyaan itu sejak kita keluar dari rumah," keluhku.

Ibunda menunduk dalam dan terdiam, membuatku sedikit merasa bersalah. AKu tahu jika sebenarnya Ibunda hanya khawatir dan ingin mencegahku untuk pergi. Namun, mau tidak mau aku harus segera berangkat.

Wajah sedih Ibunda menghilang dengan cepat dan tergantikan dengan raut datarnya yang biasa.

"Bik adhisti, aku titip Arsa, ya?" ucap Mahesa embari memperhatikan bocah laki-laki yang matanya memerah karena menangis terlalu lama.

Ibunda menarik Arsa untuk mendekat kepadanya. Arsa yang mungil memeluk pinggang Ibunda dan mencari ketenangan. "Jangan khawatir, Arsa akan aman disampingku."

"terima kasih, maaf jadi merepotkan bik Adhisti." Mahesa terlihat tidak enak meninggalkan Arsa sendirian. Jadi, Ibunda menawarkan diri untuk menjaga Arsa selama kami pergi.

"Tidak apa-apa, lagipula aku sendiri yang memintanya. Rasanya tidak enak sendirian di rumah." jawab Ibunda.

Aku tersenyum dalam hati. Padahal tadi Arsa menangis kencang saat tahu jika Ibunda yang akan merawatnya untuk sementara. Seperti biasa, anak kecil di sini sangat takut dengan Ibunda. Entah apa yang Ibunda bisikkan pada Arsa sehingga membuatnya menempel seperti itu.

"Iya, aku tidak mau tinggal sendiri atau dengan orang lain. Aku akan tidur di rumah Bi Adhisti! AKu tidak mau hilang seperti orang-orang itu!"

Aku harap Ibunda tidak membisikkan hal aneh atau menakutkan pada Arsa. Sebagai anaknya, aku tahu betul bagaimana sikap Ibunda. Meski terlihat dingin dan punya tatapan tajam, sebenarnya Ibunda sangat menyukai anak kecil. "Kamu tidak akan hilang kalau tetap di rumah, kok," ucapku pada Arsa. AKu berjongkok dan mensejajarkan mataku padanya. "Aku titip Ibunda, ya? Arsa, kan, kuat dan hebat!"

"Iya! Serahkan saja padaku!" Senang rasanya melihat Arsa kembali gembira. "Mas Chandra dan Mas Mahesa pergi saja!"

Aku bangkit dan bersiap untuk pergi. "Kami pergi dulu, ya! Doakan kami selamat sampai rumah!"

Baru saja melangkah, Ibunda sudah menarik tanganku, menahan langkah untuk pergi menjauh. Dari sini, aku bisa melihat Mahesa dan Mas Giandra sudah berjalan terlebih dahulu.

Apalagi yang ingin Ibunda sampaikan?

"Chandra," Ibunda memperbaiki sarung tenun kuning yang melingkari pinggangku. "Apa pun yang terjadi, jangan lepaskan kain ini."

Aku mengernyit heran dan mengangguk. Tangan Ibunda melingkari leherku tiba-tiba. Dekapan itu singkat, tetapi berhasil meninggalkan hangat.

Aku menoleh pada pria baya yang memperhatikan kami dari kejauhan. AKu mengangguk sebagai salam dan Datuk Suma balas mengangguk.

"Hati-hati di jalan."

***

"Mas Giandra, ingat pesan DATuk SUma, kan?"

ChandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang